Bab 1 : Perjalanan Pulang

735 44 25
                                    

❄ ❄ ❄

Lokomotif uap di depan terus berdesis.

Elysa berusaha sebaik mungkin untuk tertidur. Memejamkan mata, merenggangkan tubuhnya, namun tidak ada yang berhasil. Kursi empuk yang sedang didudukinya juga tidak memberikan kenyamanan yang diinginkan. Melamunkan berbagai tempat dan kejadian, memikirkan penyelidikannya, menebak siapa sebenarnya yang jadi tunangannya, memilin rambutnya yang hanya sebahu, tapi tetap tidak bisa. Suara lokomotif itu bagai menghapus berbagai hal yang dilakukannya.

Kereta ini kelas royalti, namun suaranya .... Dia mendengar Kayri mendesah di depannya.

"Ini sudah kelima kalinya kamu mendesah, Kayri," kata Elysa membuka mata. Dan seharusnya aku yang melakukan itu.

Gadis berambut merah yang ada di depannya itu cuma cemberut.

"Demi Sang Pencipta, demi Eris, demi ... dewa apapun yang dipuja oleh orang-orang Kalesia, ini membosankan sekali," kata Kayri keras, lalu melihat Elysa, "dan ternyata Ratu Es cuma pura-pura tidur saja. Selamat siang, eh sore. Sial, dengan langit yang mendung seperti ini sangat sulit menentukan waktu," sahut Kayri sambil melihat keluar jendela.

Bosan bukanlah kata yang tepat. Menjengkelkan lebih tepatnya.

"Ini belum sampai tengah hari," kata Elysa memandang Kayri. Temannya itu tampak tidak seperti biasanya. " Sadarkah kamu Kayri kalau kamu baru saja bersumpah pada tiga tokoh dalam agama-agama yang berbeda?"

"Oh, jangan bicara masalah teologi denganku, Elysa sayang. Aku tidak semangat untuk itu sekarang."

Elysa tetap memandang Kayri tanpa berkedip.

"Apa ada yang salah dengan wajahku?" tanya Kayri.

"Tidak ada. Wajahmu tetap ... cantik?" Elysa jadi kehilangan kata-kata. "Hanya saja kelakuanmu lebih buruk dari biasanya."

"Aku yakin sekali kalau kau menggunakan tanda tanya pada kata cantik," kata Kayri menaikkan alisnya.

Dia pasti tidak mendengar apa yang kukatakan di bagian akhir.

"Benar," ucap Elysa dengan wajah lurus, "Dan denganmu? Aku sama sekali tidak menyesal mengatakannya."

Kayri mendesah sekali lagi. Enam kali. Menghitung berapa kali Kayri mendesah mungkin bisa menghiburnya dari suara berisik ini. Elysa melirik keluar kompartemen. Cleva dan pelayan pribadi Kayri sedang berbincang-bincang. Mereka bahkan kadang-kadang tertawa. Apa mereka tidak terganggu dengan suara ini?

"Kau tahu aku berteman dengan siapa, Elysa," kata Kayri lemah. "Sifat buruk mereka pasti menular padaku. Tapi mungkin juga cuaca jelek ini benar-benar mempengaruhiku. Ah, aku rindu sekali dengan musim panas di Riege. Burung-burung beterbangan dengan bebasnya. Kita dapat melakukan apapun saat musim panas lalu. Tapi sekarang, semakin ke utara yang kulihat hanya salju, salju, dan oh demi ... salju lagi."

Elysa cuma menggeleng.

"Ini sedang musim dingin. Selain itu, untuk seorang Putri dari sebuah Kekaisaran yang tinggal di atas salju, kata-kata yang baru kamu ucapkan tadi agak tidak biasa," kata Elysa.

"Tidak juga. Aku Caster Api, aku tidak suka dingin. Tidak sepertimu." Kayri menerawang lagi. "Ah, musim panas Riege. Betapa aku ingin kembali pada masa-masa itu."

"Ya, tapi musim panas selalu ditemani oleh tugas-tugas yang menumpuk, perkamen-perkamen yang tidak jelas kapan baru selesai menyalinnya, serta aucast-aucast yang berbahaya," sambung Elysa.

Kayri menguap. Kepalanya digerakkan ke kiri kanan, mengacuhkan omongan Elysa. Rambutnya yang lurus panjang itu ikut bergerak seiring dengan kepalanya, sama dengan mantel bulu abu-abu yang dipakainya.

Aura of Revaris : The Frozen KingdomWhere stories live. Discover now