quarante-et-un

3.4K 255 21
                                    

BARRA

Sudah dua minggu sejak gue menemui orang tua Naura. Setelah menemui Om Nadiem—gue telah membuat janji dengan Mamanya. Sama seperti Om Nadiem, gue jarang bisa mengobrol dengan Mama Naura. Meksipun Mama Naura lebih kelihatan ramah, tetap aja gue nggak ada alasan buat bisa berinteraksi lebih. Mama Naura tahunya gue hanya teman Naufal yang pada akhirnya juga berteman dengan putrinya.

Mami bilang Mama Naura pribadi yang sulit dedekati, kendati kelihatan ramah. Saat berkumpul di acara sosialita, biasanya Mama Naura hanya berinteraksi sewajarnya. Sebab itu, walaupun berada di grup arisan yang sama—Mami dan Mama Naura tidak sedekat itu buat bisa mengatur perjodohan kami.

Gue menunggu beliau di salah satu ruangan privat di sebuah restoran. Tidak membutuhkan waktu lama, Mama Naura tiba dengan penampilan sederhananya namun tetap kelihatan elegan. Wajah bulenya benar-benar ia warasi pada Naura.

"Maaf Tante terlambat, Barra." Ucap beliau yang duduk di depan gue.

"It's okay, Tante." Gue tersenyum sopan. "Barra juga baru datang."

"Sudah selesai bicara dengan suami saya?"

Gue mengangguk. Tidak heran mengetahui beliau tahu soal gue yang bertemu dengan Om Nadiem.

"Kalau gitu bikin cepat ya, Barra. Nanti Naura kabur kalau nggak saya awasi."

Mendengar nama Naura membuat jantung gue berhenti berdetak selama satu detik. Rasa rindu yang berusaha gue tahan kembali ingin muncul ke permukaan. Ada banyak hal yang ingin gue tanyakan pada Mama Naura soal kondisi putrinya—namun saat ini, gue harus membahas soal masalah yang Naura alami karena gue.

"Saya mau minta maaf atas yang terjadi pada Naura, Tante."

"Naura sudah bilang kalau ini bukan hanya kesalahan kamu. Putri saya bukan anak kecil yang tidak bisa mengambil keputusan bijak. Yang saya sayangkan, kenapa kalian harus merahasiakannya dari kami?"

"Maafin saya, Tante."

Mama Nuara menghela napas. "Video klarifikasi yang kamu bikin nggak membuat nama Naura langsung bersih. Sebagai ibunya, saya merasa sakit hati karena putri saya dihina-hina seperti itu. Dituduh pelakor, selingkuhan, wanita tidak benar—" gue bisa merasakan emosi marah yang tertuang dari nada suara Mama Naura. "Apa menurut kamu Naura pantas diperlakukan seperti itu, Barra?"

"Nggak, Tante."

"Lantas kenapa kamu membiarkan hal itu terjadi?"

"Saya seharusnya lebih berhati-hati." Gue menunduk menyesal. Tidak ada pembelaan yang bisa gue katakan. "Maafin saya karena membuat Naura berada di situasi ini."

Mama Naura melipat tangannya. "Kamu ingin bertemu saya bukan hanya untuk minta maaf, kan?"

Gue mengangguk. "Saya mau minta izin buat bersama Naura, Tante?"

"Bersama?" satu alis Mama Naura terangkat.

"Saya mencintai Naura." Ungkap gue. Lalu menegaskan. "Sangat mencintainya. Saya minta izin buat mencintai anak Tante."

"Jadi kalau saya bilang nggak boleh, apa kamu bakal berhenti mencintai anak saya?" Mama Naura mendengus geli. "Barra, mencintai Naura aja nggak cukup buat saya bisa kasih izin kamu bersama putri saya."

"Saya tahu, Tante. Sebab itu, saya meminta kesempatan pada Tante untuk membuktikan diri saya. Kalau saya akan berusaha sebaik mungkin melindungi Naura dan membuatnya bahagia."

"Kamu tahu hal itu nggak bisa kamu tunjukkan dalam waktu beberapa hari." Mama Naura menyahut.

"Saya tahu, Tante. Tapi saya nggak akan berhenti berusaha sampai Tante mengizinkan saya bersama Naura."

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang