13. Siasat di Balik Tirai

15 5 0
                                    

“Halo, Pak. Selamat sore.”

“Sore, ada perkembangan apa, Nadine?”

“Begini, Pak, saya menemukan sedikit informasi. Di perumahan ini, ada saluran air yang biasa digunakan untuk pembuangan limbah. Saluran ini menyatu dengan perumahan warga sebelum dibuang ke saluran akhir.”

“Terus?”

“Mungkin ini bisa menjadi informasi bagus untuk Bapak.”

Suara di sebelah terjeda beberapa saat. “Terima kasih informasinya. Itu cukup bagus untuk menambah peluru kita. Menurut kamu, apa yang sekiranya bisa kita lakukan dengan saluran air itu?”

Sejak kepulangannya membeli sate sepulang kerja, saluran air itu benar-benar membuat ide di kepala Nadine diperas sedemikian rupa. Saluran air merupakan salah satu hal vital yang tidak bisa dilepas di kehidupan rumah tangga, apalagi di dalam sebuah permukiman yang banyak sekali orang tinggal di dalamnya. Saluran air, meski terkadang bau, sangat diperlukan untuk sarana pembuangan limbah ke penampungan terakhir.

Sama seperti di Jakarta, gorong-gorong di sepanjang jalan selalu mencemarkan bau tidak sedap, belum lagi air parit yang menghitam seperti terkena tumpahan oli gardan yang sudah lama tidak diganti. Menyengat dengan hewan-hewan pengerat atau makhluk kecil yang senang berkubang di air yang kotor. Selintas pikiran yang muncul dengan korelasi keduanya adalah Nadine ingin menciptakan huru-hara kecil yang membuat warga merasa risau.

Saluran air di sini sangat terawat dan teratur, meski airnya keruh, tetapi mengalir dengan lancar sehingga mampu membawa limbah pergi menjauh dari permukiman. Apabila Nadine bisa membawa situasi saluran air di Jakarta kemari, maka warga yang sudah terbiasa dengan kebersihan gorong-gorong akan terusik dengan bau tidak sedap atau air yang terhambat.

Ujung bibir Nadine terukir naik, membentuk sebuah senyum miring yang penuh rasa puas. “Bagaimana kalau kita buat saluran air itu jadi terhambat, Pak? Kita sumpal dengan sampah atau bekas makanan kotor setiap hari sampai tidak bisa membuat saluran mengalir.”

“Kamu yakin rencana itu berhasil?”

“Saya rasa akan berhasil. Saluran air ini jadi jantung utama di perumahan, Pak. Sekali sudah tersumbat sampai menimbulkan bau, maka warga akan merasa kesal dan menganggap pemilik perumahan ini tidak bisa bekerja dengan becus.”

Tawa Linggar meledak di ujung telepon. “Ide yang bagus, nanti saya akan mengurus itu. Anak buah saya nanti ke sana untuk menyumbat saluran air.”

“Kalau bisa hati-hati, Pak. Jangan membuang waktu siang atau waktu rawan.”

“Ah, kamu tenang saja. Tidak usah khawatir soal itu. Nanti semuanya akan saya urus dengan ajudan saya. Ada lagi informasi yang kamu dapat?”

“Satu lagi, Pak. Ternyata, perumahan ini belum sepenuhnya ditinggali oleh orang-orang. Terutama di blok belakang. Saya merasa tertarik ke sana untuk mencari informasi, tetapi belum sempat. Mungkin nanti.”

“Oke, terima kasih, Nadine. Kamu memang bisa diandalkan.”

Sambungan telepon terputus. Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Linggar bergaung di sudut kecil otaknya yang berdenyut. Kamu memang bisa diandalkan. Ada perasaan aneh berkecamuk di hati kecil Nadine, diandalkan artinya dia memiliki manfaat di dalam suatu komunitas yang tentunya menjadi impian semua orang ketika bekerja di bawah tangan seseorang.

Mungkin saja, afirmasi positif itu bisa Nadine terima apabila mengerjakan sesuatu yang lebih terang dibandingkan apa yang kini dia lakukan. Ada perasaan lain yang menelusup di hatinya, perasaan bersalah. Ini menjadi sifat alamiah seseorang ketika mereka masih memiliki daya penalaran yang berfungsi dengan baik. Apa yang Nadine lakukan memang salah, tetapi dia tidak bisa menolak, terutama dengan insentif yang Linggar tawarkan ke depannya.

Rumah Ini Dijual | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang