DASI

62 3 0
                                    


"Ibuuuk, ini jam berapa?"

Aku berteriak pada ibuku yang sedang menata sarapan di meja makan, sementara aku mematut diri di depan cermin kamar. Aku sedang mengancing seragam sekolahku.

"Jam enam lewat empat puluh menit ..." Pekik ibuku di sana.

Huaaa, gawat!

Aku bisa terlambat kalau begini. Tergesa-gesa kumasukan kancing kedua dari terakhir yang belum kumasukan. Selesai dengan kancing, secepat mungkin kupakai kaus kaki dan sepatu kiri kanan. Kurampas tas punggungku di meja belajar dan tak lupa kuambil topi yang tergantung di standing hanger.

Senin ini aku kesiangan bangun pagi. Alasannya sepele sih. Gara-gara begadang nonton bola. Aku tak punya waktu untuk menikmati sarapan, padahal ibuku sudah mengisi piringku. Ibu menyuruhku makan meski sesuap saja, tapi tak kuindahkan.

"Sayang, makan dulu! Sesuap tiga suap cukup, biar kamu nggak pingsan!"

Itu seruan ibuku ketika aku menyalami tangan beliau dan memilih meninggalkan sarapan. Aku sungguh-sungguh takut terlambat karena hari ini upacara bendera. Saking takutnya, aku seperti kesetanan mengendarai motor matic-ku di jalan.

Aku sedikit lega saat sampai di sekolah dan mendapati lapangan masih sepi. Itu artinya bel masuk belum berbunyi. Aku membawa motorku melaju ke parkiran.

Bel menjerit bertepatan dengan diriku yang menyadari bahwa dasi abu-abu tak menggantung di kerah bajuku. Aku terpaku di ambang pintu. Satu per satu teman-temanku melebur keluar kelas.

"Astaga, lupa bawa dasi. Alamat kena setrap ini." Langkah kakiku mendadak tidak semangat. Wajahku tertunduk murung.

"Loe nggak bawa dasi, Za?"

Suara seseorang yang kukenal menarik wajahku untuk mendongak. Kutemukan Galih berdiri tepat di depanku. Kedua tangannya diselipkan ke saku celana.

Damn! He is so cool.

Aku mengangguk lemah. "Iya ..." Sedih mengetahui kenyataan aku akan dihukum. Pasti dihukum membersihkan toilet cowok yang bau pesing plus banyak putung rokok berserakan di mana-mana sudut. Kalau bukan opsi yang itu, pasti yang ini, menyapu halaman belakang sekolah yang penuh daun kering.

"Kenapa? Kok, loe bisa lupa?"

"Gue kesiangan, Gal, gara-gara nonton bola. Jadi buru-buru deh."

"Gue juga nonton bola, tapi nggak kesiangan."

Ucapan Galih seakan-akan menyudutkanku. Seolah-olah begadang nonton bola tidak pantas dijadikan alasan. Itu murni kelalaianku sendiri. Memang benar, sih.

"Gue juga lupa ngidupin weker," kataku nyengir.

"Oooh ..."

"Udah minggir!" aku mengibaskan tanganku. "Aku mau lewat. Loe berdiri di situ ngalangin gue jalan!"

Galih menyingkir sedikit ke samping, memberiku ruang. Aku melangkah lagi mendekati mejaku di belakang.

"Eh, Za ..."

Aku menoleh.

"Pake ini!"

Entah sejak kapan Galih melepas dasinya yang sedari tadi melingkar rapi di lehernya yang jenjang untuk dipakaikan padaku. Aku diam tak berkutik. Menerima saja apa yang dilakukannya.

"Pake, jangan dilepas! Kalo loe lepas gue marah!" perintahnya di sela-sela menyimpul dasi di kerah bajuku.

"T-tapi, Gal—"

"Udah nurut aja. Loe nggak usah nyemasin gue. Gue lagi males ikut upacara."

Senyum berlesung pipi milik Galih membuat mataku tak mengerjap sedikit pun, hingga dia selesai menautkan dasi dengan sangat rapi.

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Jun 14, 2023 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

Kumpulan Cerpen (Gay Themed)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin