4. Come, Fly With Me

112 4 2
                                    

LE DEVOLUY, JUNE 14th 1852.
7 hari setelah pertemuan pertama Matthias dan Caitriona.

Sekarang sudah hampir tengah malam, dan Caitriona sedang mengendap-endap keluar kamarnya. Gadis muda bergaun biru langit itu berjinjit sambil menyincing roknya, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Sesekali ia menengok ke kamar pamannya kalau-kalau pria itu terbangun dan memergokinya.

"Maafkan aku, Paman Edla. Semoga pagi esok kau tidak terlalu terkejut saat menyadari bahwa aku pergi," gumam gadis cantik itu seraya menutup pintu berlahan.

Caitriona kecil hanyalah anak angkat yang mulai tinggal bersama Paman Edla pada usia 10 tahun. Sebelumnya, gadis cilik itu tinggal di panti asuhan. Sebetulnya, Paman Edla ingin anak laki-laki, supaya bisa membantunya bekerja. Entah mengapa, akhirnya ia mengangkat Caitriona meskipun katanya tidak suka anak perempuan.

"Anak perempuan memang menyusahkan, menghabiskan banyak uang, lemah, tidak mampu bekerja keras," ucapan Paman Edla terus terngiang, mengingat betapa seringnya pria paruh baya itu mengatakannya pada Caitriona.

Tidak peduli seberapa keras usaha Caitriona untuk menyenangkan pamannya, pria itu tidak pernah merasa puas atas kerjaan yang dilakukan Caitriona. Memasak, melakukan pekerjaan rumah setiap hari, dan menjual roti dan buah pada toko Bibi Lundin, satu-satunya orang yang baik pada Caitriona, hingga gadis cilik itu berpikir bahwa Bibi Lundin-lah ibu kandungnya.

Caitriona mengingat lagi kejadian sore ini. Paman Edla berkali-kali mengomeli Caitriona dan mengatakan bahwa mengangkat Caitriona sebagai anak adalah kesalahan terbesarnya, hanya karena masalah sepele.

Pukul 6 sore, waktu dimana Paman Edla selesai bekerja, ia menyuruh Caitriona pergi ke toko roti dekat Lablee Pierre untuk membeli roti gulung yang disukainya. Sayangnya, roti yang diinginkan Paman Edla sudah habis, jadi Caitriona membeli yang lain sebagai gantinya.

Niat baik gadis polos itu menyulut emosi Paman Edla tanpa ia sadari. Caitriona hanya bisa diam saat pria itu melemparinya roti yang sudah ia beli, sambil memaki-maki. Kejadian sore itu membuat niat Caitriona untuk kabur, makin kuat.

"Tidak ada makan malam untukmu hari ini. Keluar, jangan kembali sampai emosiku reda", adalah kata-kata terakhir Paman Edla sebelum ia mendorong Caitriona keluar dari rumahnya dan mengunci pintu.

Caitriona hampir menangis. Bukan menangis tersedu-sedu, tetapi air matanya hampir saja menitik. Ia kesepian. Gadis cantik itu terus berjalan, lalu duduk pada sebuah bangku di taman solulouise-Caitriona menamainya sendiri, tempat dimana ia pertama kali bertemu dengan makhluk menawan bernama Matthias.

Tidak ada siapa-siapa di situ. Semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing untuk malan malam. Taman itu gelap dan hujan rintik-rintik mulai turun, tetapi semua rumah di sekitar situ bersinar terang.

Jendela kamar Benka, satu-satunya teman Caitriona, juga kelihatan terang. Sekarang ia pasti berada di rumah, makan sup dan panekuk bersama keluarganya. Di rumah-rumah yang terang itu, Caitriona melihat para keluarga sedang berkumpul dan duduk bersama. Hanya ia yang duduk sendirian dalam gelap.

Pikiran gadis itu melayang kemana-mana. Ia memikirkan kata-kata yang diucapkan oleh sang peri gunung sebelum ia terbang melesat pergi. negeri nun jauh? gumamnya. Caitriona tidak tahu dimana tempat itu berada. Jangankan mengetahui letaknya, mendengarnya saja belum pernah.

"Nona, aku bisa mempersiapkan segalanya dan seminggu lagi aku akan mejemputmu. Aku akan membuatmu bahagia, bukan seperti orang-orang di kota ini. Kumohon percayalah padaku."

Bagaimana bisa mempercayai seorang peri gunung yang baru ditemuinya? Pikir Caitriona saat itu. Bagaimana cara mengatakannya pada Benka dan Paman Edla? Mereka tidak mungkin mempercayainya.

Gadis itu juga tidak menyangka bahwa akan ada hari dimana ia bisa bertemu dengan seorang peri gunung yang akan berjanji membawanya pergi dan membahagiakannya. Tetapi kejadian hari ini membuatnya sangat ingin pergi dari rumah Paman Edla dan memikirkan kembali ajakan Matthias.

•••••

Malam itu, Caitriona sudah membulatkan tekadnya untuk menemui Matthias, tidak peduli apapun yang terjadi. Gadis itu hanya ingin bahagia seperti orang lain, seperti Benka yang disayang keluarganya. Ia cukup lelah untuk menjadi pelayan Paman Edla setiap hari, lelah mendapat makian dan teriakan setiap hari.

Udara di Le Devoluy sangat dingin terutama saat malam hari, membuat gadis cantik itu harus memakai mantel dan topi bulunya yang berwarna merah muda. Agak lusuh, tetapi cukup untuk membuatnya hangat malam itu.

Sebentar lagi, pikirnya. Sebentar lagi ia akan lepas dari Paman Edla yang pemarah, dari rumah yang tidak pernah membuatnya nyaman itu. Caitriona berjalan melewati rumah-rumah yang lampunya sudah padam, setengah berlari.

Hujan rintik-rintik sudah berhenti, meringankan perjalanan Caitriona malam ini. Ia tersenyum menuju taman solulouise, dengan pipinya yang kemerahan karena terkena dinginnya angin malam.

Caitriona duduk manis, menunggu seseorang yang berjanji akan membawanya pergi. Sejak kecil, ia selalu bermimpi didatangi pangeran berkuda putih untuk membawanya keluar dari penderitaan yang ia alami. Bukan pangeran berkuda putih, peri gunung dengan sayap keemasan pun tak apa, pikirnya.

Sambil mengayun-ayunkan kakinya, Caitriona menggosok tangannya yang mulai kedinginan. Ia sedikit merasa menyesal karena menuruti permintaan Matthias. Gadis itu kawatir, sang peri gunung tidak menepati janjinya dan hanya iseng mempermainkan manusia. Pikirannya mulai membayangkan dirinya berada di ranjang yang hangat di rumah Paman Edla jika saja ia tidak berniat kabur.

Di dekat tempat gadis itu duduk, terdapat lampu jalan kayu yang berdiri tegak. Sinar redupnya menimpa tubuh Caitriona dan sekitarnya, cukup untuk membuat Caitriona tidak merasa kegelapan. Saat gadis itu menatap rumput di bawahnya, tiba-tiba sesuatu yang cukup besar menutupi sinar dari lampu jalan kayu.

Caitriona mendongak. Tak lama, senyum dari bibir mungil kemerahannya merekah. Pria jangkung berambut putih platinum berdiri di depannya. Senyum lebar juga terukir di wajah tampannya. Sayap emas berkilauannya membentang hingga mengalahkan sinar dari lampu jalan kayu.

"Kau menepati janjimu, Tuan", Caitriona memekik kesenangan.

"Tentu saja. Aku lama sekali mempersiapkan segalanya hingga akhirnya bisa menjemputmu lagi kesini", sahut Matthias, masih dengan senyumnya yang lebar.

Lama sekali? hanya tidak bertemu 3 hari semenjak terakhir kami bertemu, pikir Caitriona. Tapi cepat-cepat gadis itu menghiraukannya.

"Aku membangun kerajaan, hanya untukmu. Kita bisa menjadi raja dan ratu disana. Kau akan menjadi kekasihku. Kita bisa berbahagia, Caitriona! Oh, bahkan menyebut namamu saat ini saja membuatku berdebar", mata Matthias terang seperti bintang saat mengatakannya.

"Tuan, matamu! Berkilauan seperti permata", Caitriona berdiri dan berjinjit di depan Matthias.

Matthias memegang dagu gadis itu, menatap pipinya yang kemerahan, lalu menatap mata cantik yang penuh harapan itu, lekat-lekat.

"Maukah kau terbang bersamaku?"

Tanpa waktu lama, Caitriona mengulurkan kedua lengannya ke arah Matthias dan berkata,

"Bawa aku kesana! Oh, bawa aku ke Negeri nun Jauh!"

Peri gunung yang tampak sangat menawan malam itu membungkukkan badan dan menggendong Caitriona. Gadis cantik itu sangat gugup dan merangkul erat pundak sang peri sambil memegangi topinya, saat mereka melayang menuju angkasa. Mereka meninggalkan taman solulouise yang kelam dan rumah-rumah di sekitarnya yang lampunya telah padam.

Malam itu, Caitriona, sang gadis manusia, terbang melayang di angkasa, dibawah kelap-kelip bintang-bintang bersama sang peri gunung.

•••••

Maafin aku ya, jadi ketagihan update tengah malem

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CAITRIONAWhere stories live. Discover now