04. The Wrong Pray

39 13 0
                                    


Ujung bibir Nora berkedut. Ubun-ubunnya memanas dengan cepat. Kendati demikian ia masih mampu memaksakan senyum. Apakah Özker dan seluruh anggota Suku Kohl berdoa serupa? Memohon untuk dibantu berperang?

"Mengapa kau ingin memerangi Suku Avankaya?"

"Kedua suku kami telah lama berseteru, Nona. Tiga ratus tahun lamanya." Pria tua itu mengayunkan tangan ke arah Kapal Anatolli, yang punggungnya menjulang tinggi di depan Kapal Kohl bagai tebing di kaki lembah.

Nora mengernyit. "Bagaimana kalian bertahan hidup bersama selama itu?"

"Hubungan yang rumit." Özker menggerutu. "Aku mendengar kisah-kisah pendahulu bahwa ada kalanya suku kami bisa bergandengan tangan, tapi itu hanyalah segelintir dari banyaknya perseteruan. Dan aku tidak akan termakan dongeng-dongeng, wahai Nona. Aku tidak mau Kohl menderita lebih jauh lagi, terutama ketika pasha saat ini sama sekali tidak berkompeten!"

Nora yakin siapa saja bisa mendengar raungan Özker, termasuk sang pasha muda. Ia merapat pada pagar dek. "Ada yang salah dengan Elias Pasha?"

Apa pun itu, yang jelas bukan penampilannya.

"Adalah hal bodoh untuk mengangkat seseorang muda sebagai pasha." Özker mendengus. "Ada sejumlah tetua di Avankaya dan mereka memilih seseorang yang baru berusia tiga puluh sebagai seorang pemimpin! Belum menikah, pula! Bagaimana bisa ia akan memimpin dua suku kalau ia saja tidak pernah belajar untuk memimpin keluarganya sendiri—sebagai seorang suami, seorang ayah? Aku tidak akan pernah memercayakan tiga ratus Kohl di tangan lelaki lajang tanpa pengalaman!"

Nora mengerjap. Ia mengatupkan bibir. "Dan ... dan mengapa ia yang diangkat menjadi pasha?"

"Karena ia terdidik." Özker mencemooh. "Karena ia sejak lahir telah ditetapkan sebagai pemimpin generasi ini, menggantikan mendiang tetua kami. Avankaya dan tradisi anehnya itu memang sembarangan saja. Tidak seperti Kohl, yang dengan penuh kerendahan hati memilih orang paling tua dan bijak untuk memimpin!"

Itu berarti, Özker adalah pria tertua dan, mungkin saja, yang terbijak di Suku Kohl. Baiklah. Jika kebijakan terhadap pemimpin saja sudah menunjukkan perbedaan sebesar itu, Nora tak perlu bertanya lagi tentang tetek bengek lainnya.

"Karena itulah, Nona, kami sangat gembira saat kau jatuh dari Dunia Lain. Tuhan benar-benar menjawab doa kami—Dia telah mendengar kami," Özker kembali berkata. Ia menatap Nora lekat-lekat. "Keajaiban apa pun yang kau miliki, kami sangat percaya itu adalah bantuan untuk melepaskan diri dari Avankaya."

Nora menelan ludah. "Peperangan adalah kekerasan, Özker. Apakah kau yakin Tuhan menginginkan kekerasan pada suku yang telah lama hidup berdampingan? Bagaimana dengan kedamaian?"

"Tapi kau adalah jawaban dari doa kami." Mata Özker berkilat. Ia mendesis di antara giginya yang besar. Nora nyaris mengira sang tetua akan menggigitnya. "Ini mungkin terdengar salah bagimu, tetapi kau tidak mengerti sejarah kami. Suku Avankaya dan Suku Kohl tidak pernah ditakdirkan untuk menyatu. Ada kalanya peperangan hanyalah satu-satunya cara untuk kedamaian abadi bagi anak cucu kami."

Nora tidak berpikir demikian, sebab itulah yang selama ini terjadi pada keluarga von Dille. Belasan ponakan dengan berbagai tingkah, ditambah abang-abangnya yang bertolak belakang adalah alasan Nora kerap dirundung kecemasan.

Kedua suku ini tak ada bedanya.

"Aku akan mencari tahu apa yang bisa kulakukan." Nora tersenyum penuh. Ketika Özker balas tersenyum hingga janggut lebatnya terangkat, sang gadis mampu bernapas lega. Walau masih ada sisa kejengkelan di kedua mata sang tetua, setidaknya kehadiran Nora berhasil menekan itu.

PEACEMONGER ✓Where stories live. Discover now