19. The First Stone

28 8 1
                                    


Kapal Anatolli menanam jangkar di sisi sebuah pohon raksasa, tepat di sisi datar bukit rendah. Mereka juga memasang bendera merah yang tinggi—tanda memohon bantuan untuk kapal terdekat. Nora semula ragu dengan warna semencolok itu, tetapi cendekiawan Avankaya bilang Götu Dev memiliki penglihatan tidak sempurna. Mereka tidak bisa melihat warna merah dan sejenis itu. Nora seketika memahami apa yang terjadi—para Götu Dev mengalami buta parsial. Apakah ini salah satu dampak dari gigantisme?

Posisi kapal saat ini cukup strategis. Laut dengan pulau-pulau mencuat hanya berjarak sekitar dua kilometer. Di sekeliling mereka adalah padang rumput terendam air setinggi dua meter yang tenang, dan ada pegunungan rendah dari arah matahari terbit. Banyak ikan-ikan berenang di padang—ini berarti Götu Dev jarang berada di sekitar sini. Kebanyakan raksasa memang menjauhi daerah laut.

Konsistensi hujan mulai stabil. Hujan turun hanya saat malam hari, dan kadang-kadang terus berlanjut hingga siang, tetapi itu tidak terjadi setiap hari. Pada hari kedua Kapal Anatolli berlabuh, tenda-tenda untuk pengumpul getah telah didirikan, para penduduk awam Avankaya beramai-ramai membantu untuk memasak di dapur umum, dan penduduk awam Kohl ikut serta membangun dermaga kecil.

Pada penghujung petang, di balik tirai kabut ungu dan gerimis, kapal suku lain akhirnya merapat. Sekoci milik kurir Elias menuntun arah kapal suku tersebut.

Nora sedang membantu membersihkan pisau-pisau sayat saat kapal itu berlabuh di dermaga. Kapalnya memang besar, tetapi tetap tidak menandingi keperkasaan Kapal Anatolli. Kapal dengan patung tameng dan dua pedang bersilang itu hanya separuh ukuran Anatolli, tetapi Nora yakin, kapal ini memiliki armada yang sangat kuat. Sebagian bangunan dek mereka telah diserobot fondasi dari metal yang kukuh, dan para prajuritnya mengenakan baju zirah sederhana.

Untuk pertama kalinya Nora menyaksikan perpaduan dua zaman di antara kedua kapal ini. Ia bertanya-tanya siapa kiranya nenek moyang suku itu, dan dari tahun berapa ia berasal. Lantas ia bertanya-tanya semakin jauh; apa jadinya jika suku-suku lain yang membawa tradisi dari dunia lain merapat?

Ya Tuhan. Nora sangat ingin menyaksikan waktu di mana semua tradisi itu hidup menjadi satu.

Nora bergegas untuk berbilas tepat ketika Elias menyambut tamu di ruang rapat. Setibanya di ruang tersebut, sang pasha dengan bangga mengalungkan lengan di pinggangnya.

"Perkenalkan Nora; Nyonya Agung kami," kata Elias kepada sepasang tamu di hadapannya. Pasha suku itu tampak seusia Elias, begitu pula istrinya.

"Nyonya Agung—maksudmu, titisan Dunia Lain?" Nora ingin tersenyum geli mendengar istilah yang disebutkan pasha itu. "Ya Tuhan, Elio, kau menikahi seorang keajaiban!"

Nora mengerjapkan mata. "Elio?"

"Segala puji bagi Tuhan," bisik Elias. Ia merapatkan tubuh Nora padanya. "Kapal suku yang berhasil dipanggil oleh kurir nahkoda kita adalah kapal suku sahabatku sendiri—Suku Dörs. Erhan dan Naime Dörs adalah sahabatku sejak kecil."

Nora balas merangkul pinggang Elias. Kelegaan merebak di hatinya. "Tuhan benar-benar membantu kita, Pasha."



Merapatnya kapal suku lain berarti bantuan pasokan dipastikan aman. Masalah yang tersisa kini hanyalah katapel raksasa. Semenjak datang, kedua sahabat Elias sudah menunjukkan rasa penasaran luar biasa terhadap katapel raksasa di dek dasar Anatolli.

Özker menemani kedua pasha dan pasangannya saat meninjau katapel itu. Terutama Erhan, yang berulang kali mengetuk-ketuk balok-balok kayu pada alat tersebut.

"Aku khawatir gesekan berulang atau pengaruh cuaca akan membuat balok-balok kalian mengeropos," gumam Erhan. "Bagaimana jika kau menambahkan balok-balok metal dari kami?" namun tawarannya tidak segera disambut. Elias dan Özker refleks bertukar tatap, sebelum seisi rombongan menoleh kepada Nora. Erhan tersenyum. "Bagaimana, Nyonya Agung? Kami yakin engkau lebih tahu dengan perkembangan persenjataan di Bumi."

PEACEMONGER ✓Where stories live. Discover now