twenty : we'll go hand in hand 'till you understand, here I am

202 45 21
                                    

note : scene yang dicetak miring merupakan flashback.































Rumah sakit sekarang sudah seperti rumah kedua bagi Kania. Hampir sebagian besar waktunya ia habiskan di tempat itu. Sudah sebulan terakhir ini dia harus stay di sana untuk melakukan pengobatannya.

"Bosen banget.." Kania menghela nafas gusar. Ia yang merasa jenuh pun beranjak keluar dari kamarnya, hendak mencari angin segar yang mungkin akan membuatnya merasa lebih baik. Ia tidak mau menghabiskan waktunya dengan berdiam diri saja di kamar rumah sakit.

Sambil memegang infus di tangan kanannya, Kania berjalan menelusuri lorong rumah sakit. Langkahnya begitu pelan karena tubuhnya yang masih lemah, efek dari kemoterapi.

Tujuannya adalah taman belakang rumah sakit. Spot favoritnya, karena di sana ia bisa menghirup udara segar sambil memandangi anak-anak sekolah yang asik bermain melalui pagar rumah sakit.

Setiap kali ia melihat anak-anak itu hatinya menghangat.

Kania rasanya ingin kembali menjadi anak-anak.

Saat itu ia bisa bermain sesukanya tanpa khawatir akan kehilangan kesadaran ataupun berdarah secara tiba-tiba.

Saat itu ia bisa dengan lantang mengatakan cita-citanya. Aku ingin begini di masa depan.. ingin begitu.. ingin punya itu.. saat itu.. rasanya semuanya begitu mudah keluar dari mulutnya.

Tapi sekarang?

Bahkan untuk mengatakan 'aku berharap' saja rasanya ia tidak berani.

Kini ia seolah pasrah menunggu ajalnya begitu saja.

SRAAK!

Kania kaget saat selembar kertas tiba-tiba saja mendarat di mukanya.

"Eh, sori sori."

Kania buru-buru menurunkan kertas yang menghalangi wajahnya itu. "Iya nggak a—"

Deg.

"A-aya?"

"Maaf, Mas, saya kurang tahu soal pemilik lamanya soalnya saya belinya nggak langsung sama pemiliknya, tapi ada agent-nya gitu."

Yesaya tampak pasrah mendengarnya. "Oh ya, makasih ya, Pak," katanya. Ia pikir ia akan berhasil, tapi lagi-lagi harapannya pupus. Ia berhasil menemukan alamat Kania setelah mencarinya di capil, tapi ternyata yang terdaftar adalah alamat lama. Katanya pemilik yang lama sudah pindah sekitar dua tahun lalu.

"Waduh, maaf, Mas, saya emang kenal sama mereka tapi saya nggak tahu mereka pindah kemana. Untuk kontak mereka sendiri saya punya, mas mau coba hubungin?"

Meski begitu Yesaya tidak menyerah. Setelah mendapatkan kontak keluarga Kania tersebut Yesaya langsung menghubunginya.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada—tit."

Sama saja.

Apa Kania dan sekeluarganya memang senang mengganti nomor seperti ini?

Mereka seolah kompak tidak ingin agar ia menemukan Kania.

Kania.. entah kapan ia akan menemukannya?

Yesaya mematung.

Suara itu..

Ya..

Akhirnya.. ia menemukannya.

Kedua iris mata itu beradu.

Terkejut.

Bingung.

Penasaran.

Semuanya beradu jadi satu dalam pertukaran sorot mata keduanya.

SerendipityWo Geschichten leben. Entdecke jetzt