1. Pelarian

122 25 22
                                    

Perempuan berambut panjang tengah menatap sebuah bingkai besar yang terpatri di antara bagian lain dari foyer rumah, yang menghadap langsung ke pintu masuk. Bingkai itu memperlihatkan potret seorang laki-laki berusia tigapuluhan yang berdiri menghadap kamera bersama anak perempuan murung yang duduk di depan pria itu.

Foto hampa yang pertama kali dilihat jika ada tamu berkunjung. Ekspresi manusia di dalamnya sangat jelas menunjukkan kecanggungan antara kedua belah pihak, tidak seperti foto penyambutan di rumah orang lain.

Perempuan berkulit putih yang sedang memperhatikan foto itu tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan jika anak di dalam foto tersebut benar-benar tidak pernah ada. Jika saja, saat itu dia tidak ikut mengambil foto, mungkin hingga saat ini di depan pintu masuk tidak ada bingkai besar. Mungkin kenangan antara dia dengan pria yang ada di foto itu tidak akan terabadikan.

"Kali ini pun sama aja," gumamnya sambil pura-pura tersenyum.

Kemudian perempuan itu berusaha mengalihkan pandangannya menuju rentetan tulisan tangan yang ada di dalam foto tersebut. Dia membacanya sambil menahan napas, 'Untuk Ayah, dari Aluna Deandra'.

Tulisan yang terlihat seperti ditulis menggunakan ceker ayam. Luna sadar bahwa foto di depannya adalah foto yang diambil ketika dia baru masuk ke sekolah dasar. Dia mengingat bagaimana foto tersebut dipotret. Pada saat itu, Luna menangis karena mengetahui ayahnya mulai jarang kembali ke rumah. Bahkan bingkai di depannya adalah kali terakhir mereka berdua mengambil gambar bersama. Setelah itu, takada pemotretan untuk selanjutnya, dan selanjutnya lagi.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan, cobalah beberapa saat lagi."

Suara satu arah yang terdengar keluar dari speaker ponselnya, membuat Luna bergetar. Ya, sudah biasa. Ayahnya akan tetap bersembunyi meski telah berkali-kali mendapatkan panggilan telepon. Sudah beberapa bulan laki-laki dengan tampang yang tidak pernah menua itu meninggalkan rumah. Meski jarang, biasanya ayahnya akan tetap menyempatkan diri mengunjungi rumah setidaknya sebulan sekali untuk mengisi kekosongan. Namun, sekarang telah berbeda.

"Ayah, besok aku masuk ke usia delapan belas tahun. Maaf karena selalu bikin Ayah enggak nyaman setiap kita bertemu," lirihnya sembari mengusap air mata yang mulai bercucuran. "Aku harap, setelah ini Ayah bisa bahagia. Karena ke depannya aku enggak bakalan muncul lagi di rumah ini. Aku senang karena bisa menjadi satu-satunya anak Ayah, meski Ayah enggak bahagia karena kemunculanku."

Tidak begitu lama, Luna berbalik. Hatinya telah mantap, dia ingin kabur dari rumah. Segala persiapan telah dilakukan. Mulai dari tempat peristirahatan, transportasi dan beberapa pakaian, serta banyaknya uang hasil menabungnya dari waktu ke waktu telah dirapikan dan tersimpan di dalam bagasi mobil sedan keluaran tahun 90-an miliknya.

Luna berjalan menuju mobil bercat hitam yang terparkir di halaman rumah. Sebelum membuka pintu mobil, dia menatap rumah tiga tingkat yang telah menemaninya selama belasan tahun. Rumah yang penuh akan kenangan, kenangan yang terpecah menjadi kepingan tanda tanya.

Perempuan berpipi tembam itu tersenyum sesaat, sebelum akhirnya mengembuskan napas kasar. "Padahal ... aku berharap sedetik aja agar Ayah menghentikan kepergianku."

Monolog yang dia ucapkan sendiri, takada balasan dari orang yang dia harapkan. Rumah mewah itu terlihat sangat kosong, seolah mengantarkannya keluar untuk pergi meninggalkan kekosongan di dalamnya.

Kemudian Luna memasuki mobil miliknya. Memutar kunci yang telah tertancap, sebelum akhirnya indikator yang ada di dashboard mobil menyinari meteran jarak dan mobil sedan tersebut benar-benar menyala. Dia menghela napas begitu jantungnya berdetak lebih cepat, lalu mengarahkan kopling, setelahnya dia menekan pedal gas menggunakan kakinya.

Waktu yang Kita Punya Hanya Hari iniWhere stories live. Discover now