8. Bertemu Lagi

5 2 0
                                    

Embusan napas berat memecah keheningan. Daeng Mangalle tidak pernah menyangka jika rencana yang telah disusunnya dengan matang tidak berjalan sesuai harapan. Hanya tinggal sedikit lagi saja ia berhasil ikut bersama Karaeng Galesong dan para prajuritnya. Akan tetapi, keberuntungan tidak berpihak padanya kali ini.

"Sebaiknya saya berjalan-jalan saja," ucap Daeng Mangalle pada dirinya sendiri sebelum beranjak meninggalkan tempat duduknya. Sejak kepergian Karaeng Galesong bersama armada laut kerajaan Gowa, ia belum memiliki keinginan meninggalkan tempat tersebut.

Uleng sudah berulang kali memberikan peringatan, tetapi Daeng Mangalle begitu keras kepala sehingga setiap ucapannya hanya dijadikan sebagai angin lalu saja. Persis seperti saat Karaeng Galesong mengajak Daeng Mangalle bicara ataupun memberikan nasihat.

"Daeng Mangalle harus makan. Saya tidak ingin Daeng sakit. Apalagi jika Karaeng Bontomangape mengetahui apa yang terjadi hari ini, maka saya pun akan mendapatkan hukuman karena telah lalai dalam menjalankan tugas," tukas Uleng mengutarakan kekhawatiran yang sempat mengganggu hati dan pikirannya.

Ucapan Uleng seketika membuat Daeng Mangalle menoleh pada sang pengawal. "Hal itu tidak akan terjadi, Uleng. Saya hanya akan duduk di sini. Saya akan menjadi orang pertama yang menyambut kepulangan Karaeng Galesong."

"Saya rasa tidak perlu, Daeng. Sebaiknya Daeng sarapan. Matahari sudah terbit dan sekarang saatnya bagi Daeng Mangalle memulai aktivitas di hari yang cerah ini," kata Uleng lagi. 

Sejenak, pikiran dan hati Daeng Mangalle berkecamuk.  Dilihat dari sudut pandang mana pun, ucapan Uleng benar. Seharusnya ia melakukan suatu kegiatan yang bermanfaat dan bukannya hanya duduk menunggu kepulangan Karaeng Galesong dan pasukannya di halaman kerajaan.

"Percayakan semuanya pada Karaeng Galesong, Daeng. Sama seperti Karaeng Bontomangape yang mempercayainya. Dia tidak akan kalah," kata Uleng lagi guna meyakinkan Daeng Mangalle agar meninggalkan halaman.

"Saya tahu. Saya hanya ingin mengecek kapal sekali lagi. Siapa tahu, saya bisa menyusup ke kapal lain kali," kata Daeng Mangalle dengan entengnya.

Ucapan Daeng Mangalle membuat Uleng mengulas senyum tidak biasa. Daeng Mangalle sendiri tahu apa yang akan terjadi padanya jika melakukan hal-hal di luar batas kemampuannya, tetapi anak itu masih saja bertindak tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin terjadi.

"Menurut saya, Daeng tidak perlu melakukan itu. Karaeng Galesong tidak main-main dengan ucapannya."

Sejenak, Daeng Mangalle terdiam di tempatnya. Ucapan Uleng benar. Jika ia mendapatkan hukuman dari Karaeng Galesong, maka tidak apa-apa. Ia bisa melakukannya tanpa masalah, tetapi berbeda jika Karaeng Bontomangape yang turun tangan. Meskipun begitu, api semangat ingin sekali dikobarkan oleh Daeng Mangalle.

"Saya akan sarapan jika begitu."

Uleng menghela napas lega. Tidak hanya mengkhawatirkan Daeng Mangalle, tetapi Uleng juga mengkhawatirkan dirinya sendiri. Jika Karaeng Bontomangape mengetahui apa yang dilakukan Daeng Mangalle, maka ia pun tidak luput dari pandangan.

Demi menghindari hal-hal tidak masuk akal yang mungkin dilakukan Daeng Mangalle, Uleng menemani sang pangeran sarapan. Bukan pemandangan yang aneh, tetapi sikap Uleng menjadi lebih ketat.

Selesai sarapan, Daeng Mangalle memutuskan berjalan-jalan meninggalkan kerajaan. Tujuannya tidak lain ialah menenangkan pikiran. Jika ia berada di kerajaan, maka pikirannya akan terus mengarah pada Karaeng Galesong dan prajuritnya yang melakukan pelayaran di perairan Gowa.

Udara pagi masuk ke rongga hidung sampai ke paru-paru Daeng Mangalle. Kesegarannya sukses membuat pikiran menjadi lebih rileks. Daeng Mangalle berjalan-jalan dengan perasaan baik. Tidak butuh waktu lama baginya melupakan rasa kesal yang sebelumnya sempat hinggap.

Anak laki-laki yang sedang bermain dengan tombaknya seketika menarik perhatian Daeng Mangalle. Ia memutuskan menghentikan langkah dan mengamati setiap pergerakan anak laki-laki itu.

"Maaf, Daeng. Mengapa Anda berhenti? Apakah Daeng ingin melihat anak itu berlatih dengan tombaknya?" Uleng bertanya penasaran. Manik mata Daeng Mangalle membulat saat melihat anak itu. Menandakan bahwa ia merasa tertarik.

"Iya, Uleng. Saya ingin melihatnya berlatih dengan tombak," jawab Daeng Mangalle singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari anak itu.

Uleng memperhatikan lebih jelas siapa gerangan yang berhasil menarik perhatian Daeng Mangalle dalam sekali lihat saja. "Bukankah dia anak yang sebelumnya kita lihat, Daeng? Anak yang sedang berlatih bersama gurunya dan Daeng mengira bahwa dia dianiaya?" tanya Uleng setelah menggali memori ingatannya.

Daeng Mangalle memperhatikan lebih detail siapa anak laki-laki itu. Uleng tidak salah lihat. Anak itu yang mereka temui beberapa hari lalu. Seulas senyum tulus terbit di bibir Daeng Mangalle. Ia memutuskan menonton latihan tombak Marauleng yang lebih tua darinya satu atau dua tahun darinya itu.

"Apakah kau melihatnya, Uleng? Setiap pergerakannya begitu bagus dan terlatih. Saya begitu takjub hanya dengan melihatnya sekali berlatih. Bukankah dia hebat?" tanya Daeng Mangalle dengan mata berbinar pada Uleng yang ada di sebelahnya.

Uleng mengangguk. "Benar, Daeng. Dari pergerakannya terlihat jika dia telah berlatih sejak lama. Tidak ada cela dan kesalahan yang dilakukan sejak pertama kali kita berada di sini." Tidak hanya Daeng Mangalle saja yang takjub, tetapi Uleng juga.

Berlatih dengan tombak bukanlah pemandangan yang begitu aneh. Daeng Mangalle sendiri pun melakukannya, tetapi kemampuannya masih jauh di bawah rata-rata. Apalagi jika dibandingkan dengan Karaeng Galesong. Daeng Mangalle telah berlatih dengan Karaeng Galesong dan Uleng, tetapi kemampuannya masih belum cukup baik. Begitu berbeda dengan anak Marauleng yang entah sudah berapa lama berlatih menggunakan tombaknya. Hasilnya begitu sempurna di mata Daeng Mangalle.

"Dari yang saya lihat, kemampuannya tidak jauh berbeda dengan Karaeng Galesong. Hampir mendekati kemampuan mengendalikan tombak Karaeng Galesong," ungkap Daeng Mangalle dalam hati. Ini kali pertama ia menemukan seseorang yang kemampuannya hampir mendekati Karaeng Galesong.

"Kau di sini saja, Uleng. Saya ingin bicara dengannya," ucap Daeng Mangalle tiba-tiba.

"Tidak, Daeng. Apa yang ingin Anda lakukan? Apa pun yang terjadi, saya akan berasa di sisi Daeng Mangalle," tolak Uleng keras.

"Saya baik-baik, Uleng. Saya ingin bicara sebentar dengannya. Jika kau ikut, maka dia akan merasa terancam. Sementara aku ingin mengapresiasi kemampuan bermain tombaknya yang lihai," jelas Daeng Mangalle singkat.

"Baiklah, jika itu yang Daeng Mangalle inginkan. Saya akan mengamati dari sini. Apabila gerak-geriknya mencurigakan, maka saya akan bertindak. Jangan meminta saya untuk berhenti, Daeng, karena itu adalah tugas saya."

"Saya mengerti. Saya tidak akan mengganggu pekerjaanmu."

Uleng menatap kepergian Daeng Mangalle yang dapat dikatakan begitu ceroboh. Ia mendatangi seseorang yang memiliki tombak di tangannya, sedangkan Daeng Mangalle menghampiri dengan tangan kosong. Meskipun begitu, Uleng akan bersiaga di tempatnya jikalau Daeng Mangalle mendapatkan masalah.

"Kau begitu lihai menggunakan tombak itu. Hebat," puji Daeng Mangalle disertai tepuk tangan pelan.

Marauleng tersentak kaget saat melihat kedatangan Daeng Mangalle. "Daeng?"

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [Segera Terbit]Where stories live. Discover now