15. Latihan Perdana

1 2 0
                                    

Marauleng adalah murid pertama sekaligus yang dipercaya Malomo menjadi pengganti dirinya. Di mana Marauleng akan menjadi mentor yang menemani Daeng Mangalle berlatih. Seperti saat ini contohnya. Latihan kali ini merupakan yang pertama kali setelah beberapa hari lalu Malomo memberikan beberapa arahan.

Sejak awal, tubuh kurus Daeng Mangalle menarik perhatian Malomo. Itu sebabnya latihan ini dilakukan dengan tujuan memperkuat tubuh Daeng Mangalle. Sang empu begitu bersemangat memulai latihan pertamanya. Akan tetapi, ekspresinya seketika berubah saat melihat apa yang ada di hadapannya.

"Marauleng, apakah kau tidak salah? Mengapa membawa saya ke sungai? Saya sedang tidak ingin mandi," komentar Daeng Mangalle saat melihat sungai yang ada di hadapannya.

"Saya tahu, Daeng. Saya juga tidak ingin mandi. Latihan yang harus anda lakukan ialah mengambil air dari sini dan anda harus menuangkan air tersebut ke kendi besar. Anda harus memenuhi kendi tersebut dengan air dan bagi siapa pun yang mengambil air tersebut diperbolehkan. Anda tidak boleh marah pada mereka yang mengambil air," cetus Marauleng memberi penjelasan.

"Kendi itu ada di mana?"

Marauleng membawa Daeng Mangalle menuju tempat di mana kendi besar itu berada. Jaraknya kira-kira 50 meter dari sungai. Kendi besar yang ada di sana dipergunakan oleh masyarakat sekitar. Terdapat dua buah kendi yang harus diisi penuh air oleh Daeng Mangalle.

"Kendinya begitu besar, Marauleng, dan saya harus mengisi penuh kedua kendi ini? Apakah tidak bisa salah satunya saja?" Daeng Mangalle mencoba membuat penawaran.

"Tidak, Daeng. Kedua kendi ini berada di tempat yang sama dan sudah seharusnya diisi penuh keduanya. Masyarakat sekitar sering menggunakan air yang ada di sini untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Air yang ada bawa dari sungai ke kedua kendi itu akan sangat membantu mereka. Bukankah Anda ingin menjadi pemimpin yang baik di mana depan? Ini adalah langkah awal yang harus anda lakukan."

Penjelasan Marauleng sangat masuk akal. Tidak ada lagi alasan yang bisa digunakan Daeng Mangalle untuk menolaknya. Menjadi murid Malomo telah memaksa pikirannya bekerja dengan sangat keras. Kali ini, giliran ototnya yang akan bekerja.

"Kau bisa, Mangalle," ucap Daeng Mangalle menyemangati diri sendiri.

Kedua buah ember berbahan dasar kayu mulai menampung air dari sungai. Daeng Mangalle harus membawa air tersebut dengan cepat menuju kendi. Jika tidak, maka air yang ada di ember akan habis secara perlahan.

Pada percobaan pertama, hanya sebuah ember yang bisa diselamatkan oleh Daeng Mangalle. Dalam perjalanan menuju tempat di mana kendi itu berada, seorang anak perempuan tidak sengaja menabrak dan menjatuhkan embernya. Kesal? Tentu saja. Akan tetapi, Daeng Mangalle tidak bisa mengungkapkan emosinya.

"Akan membutuhkan waktu lama bagi saya mengisi penuh kedua kendi ini," komentar Daeng Mangalle menatap kedua kendi secara bergantian. Sedikit pun, tidak ada air di sana, melainkan yang baru saja dibawa olehnya.

"Daeng pasti bisa. Perlahan, kedua kendi itu pasti diisi penuh dengan air," kata Marauleng tiba-tiba.

"Saya bisa melakukannya, tetapi akan sangat lama. Mungkin sampai matahari terbenam."

"Tidak apa-apa, Daeng. Saya memiliki banyak waktu luang hari ini. Begitu juga dengan Anda, bukan? Anda telah meluangkan waktu untuk berlatih dengan saya."

Daeng Mangalle hanya bisa mengangguk. Benar jika dirinya telah meluangkan waktu. Akan tetapi, ia tidak menyangka jika latihan pertama yang harus dilakukannya ialah mengambil air dari sungai dan mengisi penuh kedua buah kendi besar.

"Baiklah, akan saya lakukan," kata Daeng Mangalle pada akhirnya.

Meskipun sulit, tetapi Daeng Mangalle tidak akan menyerah. Perlahan, ia berhasil mengisi kendi dengan air. Akan tetapi, masih jauh untuk memenuhi salah satunya. Belum lagi dengan hal-hal tidak terduga yang terjadi. Salah satu ember di tangan Daeng Mangalle bocor sehingga air yang dibawa jatuh menetes di tengah-tengah perjalanan. Hanya sedikit air yang sampai pada kendi.

Seperti yang dikatakan Marauleng, masyarakat sering memanfaatkan air dari tempat itu. Benar saja, ada beberapa orang yang mengambil air dari sana. Membuat air yang telah dikumpulkan olehnya menjadi berkurang. Daeng Mangalle hanya bisa tersenyum simpul melihat air yang telah dikumpulkannya dalam kendi berkurang.

"Kau bisa, Mangalle. Bisa," gumam Daeng Mangalle di setiap perjalanannya. Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir membawa dua buah ember di tangannya.

Daeng Mangalle mendudukkan diri di pinggir sungai dengan kaki terentang sambil sesekali mengurutnya. Kakinya terasa keram setelah berhasil mengisi sebuah kendi.

"Hanya satu kendi lagi. Saya bisa melakukan." Monolog Daeng Mangalle pada diri sendiri. "Kaki, ayolah. Bantu saya menyelesaikan ini sebelum orang lain mengambil air yang telah saya isi penuh."

Mengisi satu buah kendi memakan waktu cukup lama. Daeng Mangalle tidak bisa beristirahat dalam waktu lama, karena air yang telah terisi penuh tidak menjamin akan terus bertahan. Pekerjaan yang melelahkan itu belum berakhir. Namun, Daeng Mangalle memaksa dirinya bergerak.

Dari kejauhan, Uleng mengamati setiap pergerakan Daeng Mangalle. Rasanya begitu menyakitkan. Anak itu tidak pernah melakukan pekerjaan berat. Akan tetapi, kali ini ia melihat Daeng Mangalle melakukannya dengan susah payah. Hati kecil Uleng ingin sekali membantu, tetapi Daeng Mangalle sempat memberinya peringatan untuk tidak ikut campur. Uleng hanya bisa berdoa agar Daeng Mangalle dapat mengisi air pada kedua kendi dengan cepat.

"Selamat, Daeng Mangalle. Anda telah berhasil mengisi kedua kendi besar itu. Saya yakin jika warga akan sangat senang melihat kendi yang beberapa hari terakhir kosong telah terisi kembali.

Daeng Mangalle berusaha mengatur irama napasnya yang tidak karuan. Berjalan ke sana ke mari dalam waktu lama membuatnya seperti sedang melakukan lari marathon. Keringat meluncur deras hingga membasahi sekujur tubuh. Pakaian yang dikenakan Daeng Mangalle telah lepek karena keringat.

"Saya lelah." Hanya satu kalimat itu yang terlontar dari bibir Daeng Mangalle. Yah, rasanya memang semelelahkan itu.

"Minumlah, Daeng. Minuman itu akan mengembalikan energi Anda," kata Marauleng seraya menyodorkan secangkir minuman.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Daeng Mangalle menenggaknya habis. "Saya merasa segar kembali."

"Tentu saja. Setiap kali selesai latihan, saya juga meminumnya. Rasa lelah saya menjadi berkurang."

Daeng Mangalle mengangguk mengerti. Ia lalu mendongak. Warna jingga mulai meninggalkan langit dan berganti menjadi gelap yang sepi.

"Anda sebaiknya pulang, Daeng. Istirahatlah yang cukup, karena latihan anda hari ini hanyalah permulaan saja. Anda juga harus menjaga kesehatan, karena saya tidak suka berlatih dengan orang yang sakit," kata Marauleng memperingatkan.

Daeng Mangalle mengangguk mengerti. Tidak hanya Marauleng saja yang tidak ingin berlatih dengan orang yang sakit, tetapi dirinya juga. Ia tidak akan membiarkan tubuhnya sakit, meskipun hanya untuk sesaat.

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [Segera Terbit]Where stories live. Discover now