Siulan Tengah Hari

40 4 0
                                    

Tantri membuka kunci rumah, yang memang ia duplikat sebanyak lima buah. Satu untuk  ia pegang, sementara empat lainnya dipegang oleh Ayah, ibu, Tiara dan Sasya.

Karena kelimanya pulang ke rumah di jam yang berbeda. Bahkan siang ini saat ia sampai si rumah. Keluarganya  belum pulang semua.

Selepas membuka kunci Tantri mencampakkan tasnya asal dan merebahkan diri di atas sofa. Sembari menutup mata dengan satu lengan.

Hening.

Tadi ia menerima pesan dari sang Ibu kalau beliau dan Sasya yang baru pulang dari study tour akan kembali terlambat. Sementara Tiara dan Ayah selalu pulang sore.

Tanpa sadar air matanya menetes. Yah, ada untungnya juga sendirian di rumah. Tak ada yang menganggu dan tak ada yang tahu kalau Tantri tengah menangis saat ini.

Teringat kejadian tadi. Ternyata menjadi cantik juga tak semudah yang ia bayangkan. Ada saja hal yang membuatnya sedih.

Prang!

Tantri tersentak membuka lengan. Lantas bangkit dari posisi tidur. Mengerjap ke sekeliling ruangan yang temaram dan hanya mendapat cahaya matahari dari ventilasi kecil di atas  jendela.

Suara apa itu? Seperti piring jatuh? Atau malah gelas?

Memutuskan untuk beranjak pergi ke asal suara yang ia perkirakan berasal dari dapur. Tantri melangkah perlahan dengan sapu di tangan. Jaga-jaga saja.

Melewati sebuah lorong, jalan penghubung antara ruang depan dengan dapur. Takut-takut si pelaku adalah tikus. Ia paling anti pada binatang pengerat satu itu.

Sampai di pintu dapur Tantri menyusuri satu demi satu tempat. Mulai dari bawah meja makan hingga kolong tempat cuci piring. Bahkan juga ke kamar mandi yang berada dekat dengan dapur.

Nihil.

Tak ada sisa-sisa pecahan piring atau apapun yang ia dengar tadi. Padahal suaranya sangat keras.

Lantas, apa itu?

Tantri menegakkan punggung. Mengitari ruang di segala sisi, kemudian menggelengkan kepala. Mungkin hanya halusinasi atau tetangga sebelah yang tak sengaja memecahkan piring hingga suaranya terdengar sampai ke sini.

Menghembuskan nafas kasar, ia sudah hendak beranjak. Saat satu kakinya mulai terayun, mendadak ia mematung.

Tiba-tiba saja terdengar suara siulan dari arah kamar mandi. Jujur, Tantri pernah mendengar lagu yang ini. Seperti tembang jawa yang sering dinyanyikan para sinden untuk pertunjukkan perwayangan.

Seketika mampu membuatnya merinding.

Ia mengusap tengkuk, berusaha berpikir positif. Mungkin, ya, itu juga suara tetangga yang juga terdengar sampai ke sini.

Mulai bernafas lega, langkahku terayun kembali. Siulan tembang jawa itu masih terdengar. Entah kenapa sekarang malah terdengar bersamaan dengan suara gamelan yang semakin lama semakin keras.

Bulu kuduknya meremang. Kali ini Tantri tak lagi bisa berpikir lebih jernih karena suara itu sangat jelas terdengar di telinga. Juga tak lagi ingin berpikir positif.

Pandangannya terfokus kamar mandi yang pintunya terbuka sedikit dan gelap karena lampunya tak dihidupkan. Ya, kami hampir tak pernah menghidupkan lampu kamar mandi jika sedang tak digunakan.

Namun, anehnya, tak mungkin ada orang main gamelan dan bersiul di kamar mandi. Keanehan itulah yang membuat keringat membanjiri tubuh Tantri saat ini. Karena ia tak lagi berpikir positif itu adalah tetangga sebelah rumah.

Siulan itu masih terdengar, ia meneguk ludah dengan susah payah. Tubuh Tantri terasa kaku. Maksud hati ingin berlari. Entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak.

Toko M153 (Serum Terkutuk)Where stories live. Discover now