Bab 4 -- Hello Panda

43 3 4
                                    

Tatapannya memang mengarah ke depan kelas. Ke dosen berkumis tebal yang sedang menuliskan berbagai bilangan rumit. Bahkan, ada bermacam-macam grafik beserta penjelasan si bawahnya. Suara dosen itu pun nggak pelan, tetapi keras sampai terdengar ke belakang kelas. Namun, pikiran serta perasaan Juvena melalang buana ke mana saja. Ia mulai overthinking soal kotak bekal yang berhasil diberikan pada Kamel. Meskipun begitu, Juvena khawatir saja, kalau Kamel malah membuang nasi goreng spesialnya ke tempat sampah.

Gesa yang sedari tadi fokus memperhatikan dosen, merasa ada aura suram yang menyelimuti Juvena. Aura kehitaman, keunguan seperti kata peramal. Bisa ditebak, cowok itu sedang putus asa. Untuk kesekian kali, Gesa menduga kalau Juvena sedang dilanda keputusasaan terhadap cinta.

"Hus, kamu lagi kenapa, sih, Ju?" tanya Gesa sambil menyenggol lengan Juvena. "Perasaan, ngelamun wae kerjaane."

Merasa kepergok, alih-alih salah tingkah, Juvena mengeluh pelan, kemudian menjatuhkan kepala ke meja. Ia seperti manusia kehilangan setengah nyawa. Ia berpikir, kalau menyiapkan nasi goreng dalam kotak bekal ungu untuk Kamel itu terlalu berlebihan. Maksudnya, Juvena, kan, baru memulai PDKT lagi. Takutnya, Kamel makin menjauh lantaran ilfeel atas tindakan impulsifnya tadi.

"Gini banget ya rasanya cinta bertepuk sebelah tangan," keluh Juvena.

"Heh? Cinta bertepuk sebelah tangan? Kamu, toh, pantesnya cinta salah kejar." Gesa mencebik selagi menggelengkan kepala.

Juvena mengubah posisi duduknya. Ia bersedekap sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Salah kejar gimana? Masih orang yang sama, kok. Aku itu tim gagal move on, Sa. Apalagi sama cinta pertama."

"Kamu, tuh, aneh, Ju. Udah ganteng, agak pinter, tapi dodol soal cinta. Emang bener, mending dari awal kamu jomlo aja, nggak usah pake pacar-pacaran, dah."

Kalau lagi luar kelas, mungkin Juvena akan melemparkan banyak bogem mentah pada teman dekatnya itu. Soale berisik, kakehen omong!

"Sialan kamu, Sa. Percuma, aku keluh kesah ambek¹ dirimu kuwi. Rak nggenah blas ujunge." Malas bicara lagi, Juvena memilih mengalihkan atensi pada Pak Bambang. Meskipun, ia nggak paham apa yang sedang diajarkan. Ya, seenggaknya, ia harus bisa mengalihkan pikirannya yang dipenuhi oleh belenggu cinta.

***

Kuliah selesai lebih cepat dari perkiraan. Kamel dan Zeta sudah berada di gazebo taman Fakultas MIPA. Rencananya, mereka akan sarapan bersama, mengisi energi sebelum jam mata kuliah selanjutnya dimulai. Selain itu, tentu saja Zeta akan memulai menceritakan berbagai informasi seputar gosip di kampus. Termasuk, Juvena yang menunggu seorang Kamel di depan kelas tadi pagi—sampe kelihatan encok.

"Mas Juvena itu effort banget, ya? Padahal, kalian berdua udah semi putus, tapi masih ngejar-ngejar aja. Soalnya, kebanyakan cowok di kampus kita gonta-ganti cewek. Sampe eneg sendiri aku lihatnya," ucap Zeta panjang lebar. Ia bicara sambil menyiapkan bekal berupa ubi rebus dan dua roti kacang. Program diet, katanya.

Kamel tersenyum samar. Ia enggan berminat membahas Juvena. Bahkan untuk membuka kotak bekal ungu yang sejak tadi masih dalam pantauan, Kamel ogah-ogahan. Namun, dirinya nggak mau mubazir terhadap makanan.

"Itu pasti dari Mas Juvena, toh? Aku lihat dia bawa pas nunggu kamu dateng, Mel." Zeta menimpali lagi, meski ucapan sebelumnya nggak dijawab Kamel. Sudah biasa, sih. Zeta paham kalau teman dekanya ogah membahas Juvena untuk sementara waktu.

Kamel mendengkus pelan. "Lebih ke pemaksaan, sih. Lagian juga, awalnya aku nggak mau nerima," jawabnya datar.

"His, kamu, nih. Pikir-pikir lagi, sih, Mel, buat balikan. Jangan sampe menyesal udah ngelepas orang yang emang cinta sama kamu." Zeta mulai merayu, setengah memaksa. Pasalnya, ia hanya tahu Kamel break dengan Juvena karena alasan bosan. Aslinya, ya bukan itu, masih rahasia illahi.

"Ndak mau, Ta. Keputusanku udah bulat, lagipula ini break, lho, bukan putus. Doakan aja yang terbaik buat kita, deh," jawab Kamel sambil membuka kotak bekal ungu itu. Jujur, kedua matanya langsung berbinar. Nasi goreng keemasan dengan toping timun, tomat, selada, dan tentunya telur mata sapi sangat menggugah selera. Jujur, nasi goreng buatan Juvena masih menjadi makanan favorit Kamel sampai detik ini. Rasanya pas, meninggalkan kesan di lidah setelah melahap habis semuanya.

Zeta melirik sekilas Kamel yang masih diam selagi menatap lekat nasi goreng pada kotak bekal ungu itu. Ia menyeringai tipis, lalu iseng menoel pipi Kamel menggunakan tusuk gigi.

"Ngelamun wae!" Dan, Kamel pun mengerjap, langsung berpura-pura menyiapkan diri untuk sarapan pagi menjelang siang.

"Apaan, sih, Ta? Aku lagi ngecek barangkali di nasi gorengnya ada tengu atau semut gitu, lho." Kamel pun gegas menyendok nasi goreng, lalu memasukan ke mulut. Mengunyah cepat sambil mengangguk-angguk. Demi menutupi gugup yang barusan mampir.

Zeta mengiyakan saja. Toh, diam-diam ia memergoki muka Kamel yang memerah disertai senyuman kecil. Belum lagi, sorot matanya berbinar penuh arti.

"Iya, deh, Mel. Cepetan dihabisin, habis ini temenin aku ke bursa kampus beli camilan, ya?"

"Iya, Zeta. Jangan lupa beliin aku juga."

"Wani piro?"

***

Sialnya, pertemuan yang nggak diharapkan malah terjadi. Bursa kampus menjadi saksi bisu antara Kamel dan Juvena yang saling bersitatap di parkiran motor. Keduanya seolah terbungkam oleh lakban hitam tebal. Sampai Kamel berlalu meninggalkan Zeta duluan, masuk ke toko.

"Lho? Malah ketemu Kamel neng kene, Ju. Parani, lah!" Seperti biasa, Gesa jadi kompor mbledhug. Mana suaranya kenceng, otomatis kedengaran, lah, sama Zeta yang baru selesai merapikan ujung kerudung lewat kaca spion.

Satu bogem mentah berhasil didaratkan ke belakang punggung, membuat si empunya mengaduh selagi mengerucutkan bibirnya. "Somplak! Lara, Ju!" Gesa memekik. Sedangkan Juvena bodo amat, terus saja berlalu, meninggalkan temannya itu di parkiran.

Asal melangkah, yang membawanya pada tujuan berbeda. Mau bilang beruntung, tapi, kok, hati membatin lagi apes. Itu yang dirasakan Juvena sekarang, sedang berdiri, bersebelahan dengan Kamel di etalase kue kering. Hanya mereka yang ada di sana, secara kebetulan.

Buru-buru, Kamel meraih asal choco pie dua bungkus, berniat pergi setelah itu, tetapi suara Juvena menghentikan langkahnya dalam sekejap.

"Kamu nggak beli Hello Panda, Mel? Ada, nih, rasa cokelat." Juvena bicara sambil memandangi kotak merah yang saling berjajar di etalase nomor dua dari bawah.

Kamel hanya menghela napas pelan, enggan merespons apapun, ia lanjut berjalan mencari keberadaan Zeta. Sebab, Kamel merasa ia nggak perlu berlama-lama bersama Juvena, apalagi sampai berbincang berdua.

Selepas kepergian Kamel, bibir Juvena terangkat salah satunya. Ia sudah yakin, Kamel nggak akan meresponsnya, sekadar kalimat pendek, tetapi ia pun yakin kalau nasi goreng buatannya dihabiskan hingga tandas.

"Nggak apa-apa, Ju. Perlahan, tapi pasti kamu akan menemukan jawabannya, kok."

***

Catatan:
¹Ambek : Sama

WHEN I MEET YOU WITH BOBA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang