[16] H o m e 🇮🇩

111 10 4
                                    

Hujan turun dengan derasnya saat Zenita, Zara, dan Fathimah--ibunda Kairo--sampai di bandara. Mereka hampir terlambat gara-gara paspor Zara terselip. Tapi karena hujan deras tiba-tiba turun, penerbangan mereka pun di-delay selama satu jam. Sementara Zarion, Kairo, beserta kontingen atlet bulutangkis Indonesia sudah meninggalkan Paris dari semalam.

Aroma pertrikor yang menguar, ditambah merdunya suara rintik hujan yang bersahutan, seolah mendukung suasana hati Zenita yang sendu. Walau di lubuk hati yang paling dalam ia merasa lega karena berhasil mengeluarkan hal yang mengganjal semalam, tapi masih ada kekhawatiran di hatinya.

Zenita memberikan dua cangkir teh hijau untuk Fathimah dan adiknya, yang ia dapatkan di business lounge, serta secangkir teh kamomil untuknya sendiri. Ia menghirup aroma teh, memorinya memutar kembali nasehat Faatimah semalam. Lelaki yang tulus mencintainya, tidak akan mempermasalahkan masa lalunya. Sekalipun secara status sosial ia merupakan seorang janda.

"Aku kira kalian bakal ketinggalan pesawat, karena nggak datang-datang dari tadi," sapa Eren, yang memang sudah datang lebih awal.

Zenita masih kesal. Ia bersikap acuh tak acuh. Ia pun mengajak Fathimah mengobrol.

"Di rumah saya tiap bulan selalu mengadakan kajian dengan ustadz yang berbeda-beda. Umma mau datang? Kalau mau, nanti saya kabari ya."

"Mau banget, dong! Umma juga senang datang ke kajian. Nanti Umma ajak juga kamu ke kajian salah satu habib, beliau sesepuh di keluarga kami," cerita beliau dengan mata berbinar.

Eren melirik ke arah Zara dan bertanya, siapakah gerangan wanita yang mengobrol dengan Zenita, sampai-sampai ia terabaikan. Mereka juga terlihat dekat dan akrab.

Zara menjelaskan, wanita paruh baya itu adalah ibunya Kairo. Selama di Paris, ia dan kakaknya bahkan sering makan bersama ibunya. Tak jarang juga Kairo ikut datang.

Eren kembali menatap Zenita. Perempuan itu tak henti-hentinya menebar senyum. Saat mata keduanya bertemu, Zenita memutus pandangannya. Wajahnya menampilkan raut kekesalan. Eren terkejut, ia pun mengingat, apakah ia melakukan kesalahan sebelumnya.

"Hai. Nanti di Jakarta kamu ada rencana apa?" Tanyanya basa-basi.

Zenita membalas dengan nada dan raut wajah datar, "Nggak ada."

"Kalau senggang, maukah kamu aku ajak pergi lunch atau dinner?"

"Saya sibuk."

"O-oh. Apa kesibukan kamu sehari-hari?"

"Kepo."

Zara menahan diri untuk tidak tertawa. Tak biasanya kakaknya begini. Ia pun menyadari, rupanya ada yang dipendam kakaknya. Melihat situasi yang makin memanas, Fathimah memilih untuk menghindar.

"Ehem. Zenita, did i do wrong to you?"

"Kenapa kamu bohong? Saya denger sendiri dari Kairo, kamu bahkan nggak ketemu sama dia."

Tumpah sudah unek-unek Zenita. Dia memang bukan tipe perempuan yang cenderung silent treatment ketika marah. Dia lebih senang mengutarakan isi hati untuk menyelesaikan masalah.

Eren memutar bola matanya malas. "Just it? Cuma karena itu kamu marah? Itu bahkan perkara sepele. Oke, maaf. Aku nggak akan ulangi lagi. Forgive me, please?"

"Saya nggak mau ribut di tempat umum. Tapi saya tekankan sekali lagi, saya benci kebohongan. Permisi," lalunya pergi.

Eren mengepalkan kedua tangannya. Upayanya untuk lebih dekat dengan Zenita, rupanya belum cukup berhasil. Jangan panggil ia Eren Bachtiar, jika tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Begitulah motto hidupnya.

Estetika RasaWhere stories live. Discover now