[19] N u a n s a

68 8 3
                                    

Zara terduduk lesu di ruang keluarga. Telinganya panas mendengar rentetan omelan yang keluar dari mulut kakaknya. Memang benar kata orang, marahnya orang sabar itu mengerikan.

Bagaimana lagi? Inilah konsekuensi dari perbuatan iseng yang ia lakukan beberapa jam lalu dengan menghubungi dosennya-- Kairo--lalu mengatakan bahwa kakaknya butuh partner kondangan untuk minggu depan.

Sayangnya, ia luput memperkirakan apa yang akan ia dapatkan sesudah melakukan tindakan konyol tersebut.

Kebetulan, saat ini kedua orang tua mereka tengah berada di luar kota karena suatu hal. Ah Reum yang turut pusing sampai harus menengahi keduanya.

"Zen, udah dong. Zara emang salah, tapi sebenarnya maksud dia baik deh," sanggah Ah Reum.

"Baik gimana?" sungut Zenita kesal.

"Pikir deh. Kalau kamu bareng Kairo di nikahannya mereka, Julian bakal mikir kamu udah move on. Nggak mungkin kedepannya dia ganggu kamu. Coba kalau datangnya cuma sendiri? Dia mikirnya kamu ternyata sulit dapetin pengganti dia. Akibatnya, Julian akan semakin gencar deketin kamu lagi."

"Nah, itu maksudku mbak!" gas Zara.

"Meski dia nantinya sudah jadi suami Cia, nggak ada jaminan dia bakal berhenti gangguin kamu."

"Nah, itu maksudku mbak!"

Zenita melotot, "Ngulang lagi ku sambit, Zar!"

Zara menatap horror. Namun, otak cerdiknya seakan memberi ilham untuk mengatakan sesuatu.

"La taghdob walakal jannah. Jangan marah, bagimu surga. Hayoo, mbak Zen nggak mau masuk surga, ya? Kok marah-marah?"

Zenita terdiam. Kepalanya sibuk menimbang sesuatu. Memang akhir-akhir ini teror Julian semakin gencar. Puluhan pesan dari berbagai nomor dengan isi yang sama; yakni permintaan maaf dan keinginan bertemu, buket bunga yang datang nyaris setiap hari, sampai yang paling nekat; yakni menguntit Zenita saat ia pergi keluar rumah.

"Kali ini mbak maafkan kamu. Awas aja kalau besok-besok diulangi."

Cengiran di mulut Zara melebar. Sebelum kakaknya berdiri, ia sempatkan mengatakan sesuatu.

"Tapi minggu depan jadi kan, kondangan sama dokter Kairo? Lagian meski Zero diundang sama si lampir Carla, dia bakalan berangkat bareng teman-teman atletnya, lah. Jadi, nggak ada alasan untuk mbak nolak datang bareng dokter Kairo."

"Jadi Zero diundang? Kok nggak bilang? Tahu gitu mbak bareng dia aja, lah!"

Zara buru-buru melarikan diri saat melihat gurat emosi kembali muncul di wajah Zenita.

Ah Reum tertawa terbahak-bahak. Zenita yang kesal, melemparinya dengan bantal sofa.

🍉🍉🍉

"Belajar yang pinter, fokus sama kuliah, bukan fokus cari cowok cakep," petuah Zenita.

Agak menyebalkan memang, tapi ada benarnya juga. Zara mendesis mendengar ucapan kakaknya.

"Iya, iya. Makasih, mbak. Nanti pulangnya nggak usah dijemput, aku bareng sama temen."

Sebelum mobil Zenita meninggalkan Bougainvillea University, seseorang mengetuk jendela mobil.

Alis Zenita naik setengah. Ia menurunkan jendela mobil sedikit.

"Can we talk now? Kalau kamu ada waktu."

Pipinya bersemu merah, walau wajahnya tetap datar. Dia takut kalau orang ini berniat membahas kejadian kemarin, akibat ulah Zara tentunya.

"Maaf saya sibuk sekarang," tolak Zenita halus.

Estetika RasaWhere stories live. Discover now