Kasus Keduabelas

89 18 1
                                    

Sujud terakhir Buma saat itu terasa amat khusyuk hingga ia terhanyut dalam kilas bayang sesuatu. Ia segera memposisikan tubuhnya untuk tahiyat akhir. Setelah selesai menyempurnakan salatnya, pria itu masih menangkat tangan untuk berdoa setelah berdzikir sekilas. Belum subuh, ia masih hanyut dalam tahajudnya tadi. Namun, lagi-lagi perasaan yang berimbas dari kilas balik yang mendadak muncul dalam pikirannya membuat pria itu segera menuliskan sesuatu di ponselnya.

Sebuah pemandangan asri dengan air terjun yang tak begitu tinggi. Awalnya semua terlihat hijau, tetapi dalam kilas bayang itu aliran air terjunnya berubah menjadi merah semerah darah.

Ini bukan pertama kalinya, Buma mengumpulkan kepingan-kepingan kilas bayang di otaknya yang entah datang dari mana.

Ya Allah, andai benar ini sebuah clue, semoga ini benar berasal dari-Mu. Sesungguhnya hanya Engkau yang dapat memberikan bimbingan pada kami, hamba-hamba lemah ini dalam menguak setiap kejahatan, kekejian, yang menodai sucinya ajaran kebenaran-Mu. Ijinkanlah, hamba-Mu yang lemah ini mengabdikan jiwa raga demi membantu kemaslahatan umat. Sesungguhnya, aku mengabdikan diri hanya karena-Mu,s ebagai bentuk ketaatan dan rasa syukurku, pada Engkau Yaa Malikal Mulk.

Dalam hatinya, Buma merapal doa dan permohonan. Ia memang tak pernah berniat mengabdi hanya karena profesinya bergengsi. Ia juga tak menyetandarkan dedikasi dengan besaran gaji. Ia melakukannya murni sebagai seorang hamba yang ingin mengabdikan diri pada Tuhannya sebagai wujud ketaatan dan ketaqwaannya, membantu sesama makhluk dengan niat lillah.

“Bang?”

Zidan yang sedari tadi mengamati Buma menyipitkan mata. Ia sangat-sangat peka dengan apapun yang menyangkut pribadi seniornya itu.

“Di sekitar sini apa ada air terjun?” tanya Buma.

Zidan mengerutkan dahi, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk di siku dari sisi tanagn yang lain. Itu adalah gaya khas sang polisi.

“Hmm… air terjun? Di mana ya? Mmm… Oh! Di gunung tumpul! Ada mata air yang bersab gitu. Tapi orang-orang nyebutnya bukan air terjun, namanya Sendang Asmara. Itu induknya Kaliasmara, Bang. Dulu waktu pramuka, kami pernah kemah di sana. Cuman, kayaknya bumpernya udah ditutup lama. Katanya pernah longsor terus makan korban, akhirnya izinnya dicabut.”

“Sendang Asmara?”

“Iya, dari rumahku ke arah tenggara, Bang. Naik perbukitan itu, ke daerah yang namanya gunung tumpul. Pernah denger kan? Yang di perbatasan wilayah itu loh, yang arah jalur alternative ke Wonogiri selain lewat Pacitan.”

“Gunung Tumpul?”

“Iya, itu gunung kalau dari jauh keliatan kayak ada puncaknya, tapi kalau kita naik ke sana, nggak ada puncaknya. Konon, kalau kata simbah-simbahku, dulu gunung itu namanya Gunung Asmara. Nah, waktu itu ada sejoli yang saling cinta tetapi ditentang keluarga wanitanya. Si wanita ini dilarang menikah dengan manusia karena sudah ditumbalkan diberikan pada penguasa alam lain. konon begitu. Nah, terus si laki-laki yang merupakan keturunan Kyai ternama di masanya, datang untuk menyelamatkan si wanita. Namun, dia gagal menemukan wanitanya. Dia mengobrak-abrik seluruh wilayah di gunung itu. Sampai menggunakan kesaktiannya untuk memindahkan puncak gunungnya ke wilayah kediaman keluarga si wanita penganut ilmu hitam itu. Ada dua versi akhir ceritanya. Ada yang bilang keduanya berhasil ketemu kembali dan menikah hidup bahagia. Ada juga yang mengatakan jika keduanya tak pernah bertemu, karena si wanita lenyap ditelan bumi. Beberapa orang mempercayai jika dua orang itu pernah saling mencari secara diam-diam dengan melewati Kaliasmara itu.”

Buma mengembus napas. Mitos lagi dan lagi. Mengapa kisah seperti ini sangat laris di masyarakat? Apakah budaya halu itu sudah ada sejak dulu? Namun, hebatnya, apapun kisahnya selalu saja ada ilmu yang bisa diambil dari sana. Tidak sekedar cerita belaka.

Desus KasusWhere stories live. Discover now