10. Berharap Tidak Dilahirkan

615 87 3
                                    

Dalam tahun-tahun hidupku ... aku merasa segalanya benar-benar menyakitkan. Selangkah demi selangkah, tangan yang awalnya putih bersih itu menjadi semakin kotor dan menjijikkan. Membuat diriku bertanya-tanya, apa yang salah dengan masa laluku?

Apa yang salah dengan masa depanku?

Aku dulu bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku diperlakukan dengan begitu buruk? Semakin dewasa, aku semakin mengerti ... kalau aku memang pantas diperlakukan seperti ini.

Dulu, aku begitu riang dan percaya diri. Sama seperti anak-anak yang lain, hidupku dipenuhi sukacita dan bahagia. Itu sebelum aku menyadari betapa kejamnya dunia, betapa jahatnya hal-hal menjijikkan  yang disebut sisi munafik manusia.

Aku kelelahan.

Aku merasa hidup itu semakin buram dan membingungkan. Dalam hari-hariku, menatap plafon kamar yang biru, dipenuhi bintang-bintang palsu yang menerangi saat tidur gelapku. Ya, bintang palsu, sama dengan emosi yang selalu kutunjukkan di depan orang-orang di sekitarku.

Aku merasa jiwaku semakin terkikis. Aku sudah lama kalah, aku bahkan tidak berpikir untuk berjuang lagi. 

Sudah berapa lama ini berlalu?

Bertahun-tahun. Depresi ini berkali-kali membuatku ingin mati, tapi anehnya ... aku lebih tergoda untuk membunuh para binatang yang menyakitiku setengah mati. Aku tahu pikiran gelapku salah. Aku tidak diizinkan menyakiti siapa-siapa. Aku mulai menolak obat yang disodorkan ke bibirku, berpikir ... apa gunanya?

Obat itu hanya membuat tubuhku semakin lemah, mengantuk, dan lelah. Hal-hal yang hilang tidak bisa terisi lagi. Hatiku yang hancur sudah diganti oleh plastik palsu.

"Aku bilang, harusnya kamu menyerah sejak lama." 

Sosok itu bicara dengan suaraku, wajah jeleknya sama persis dengan wajahku. Bibirnya terangkat, membentuk senyuman gila.

"Kenapa kamu masih nggak mau menyerah? Mereka yang menyakiti kamu di masa lalu, sekarang sudah bahagia dengan kehidupan mereka, mereka mungkin bahkan udah lupa sama setiap kekejaman yang mereka lakukan."

"Ya, senang sekali mendengarnya." Aku jauh lebih tenang. Tidak lagi histeris menghadapi diriku yang lain. Sejujurnya ... aku tahu dan selalu sadar, bayanganku tidak pernah bisa bicara. Itu adalah diriku yang lain, diriku yang jauh lebih kejam dan tidak berperasaan. Mengedepankan sisi egoku, hal-hal yang hanya bisa kupendam.

Aku menatap cermin di depanku, mengambil gunting. Tengah malam, aku memotong setiap helaian rambut panjangku. 

"Mau bagaimana lagi?" kelopak mataku terkulai turun. Pandanganku sedikit buram. Bibirku membentuk senyuman. "Sejak awal, aku bukan protagonisnya."

Setidaknya, para protagonis itu ... setelah memalui jalan yang begitu pahit, mereka akan menjadi pemenang dalam hidup.

Siapa aku?

Hanya figuran yang bahkan tidak bernama. Selain merasa sakit dan sulit, aku hanya bisa menjadi batu loncatan, yang dipijak orang-orang agar mereka bisa melompat lebih tinggi.

"Kamu masih sepi, semua orang seumuran kamu sudah menikah."

"Menikah itu terlalu merepotkan, memasukkan orang baru ke dalam hidupmu. Mencoba beradaptasi dari awal, mencinptakan ruang untuk konflik-konflik yang baru." Aku menghela napas tanpa daya. "Dulu, aku pikir nggak masalah nggak menikah, tapi aku berharap bisa punya anak. Sekarang ... aku bahkan nggak mau punya anak."

Aku terkekeh, "Tanggung jawabnya sulit. Aku melihat kakak aku, membesarkan anak-anak. Bukan hanya tentang makanan dan pakaian, biaya pendidikan, moralitas, dan banyak hal. Ponakan aku yang paling besar, mau masuk SMP, dia harus nyiapin uang masuk 40 juta."

"Terlebih, anak itu bukan investasi pasti. Belum tentu setelah semuanya mereka bisa berbakti." Aku memotong rambutku lagi. Aku tidak peduli tentang panjangnya yang tidak sama rata, modelnya berantakan dan kusut. Aku hanya membenci rambut panjang karena merawatnya terlalu sulit.

"Juga ..." mataku menatap kosong. "Monster seperti aku, hanya akan melahirkan monster yang lain. Aku selalu menyesal dilahirkan, aku berharap nggak pernah hidup." Aku menatap gunting di tanganku lama. Bibirku melengkung lagi, "Kalau aku punya anak, dan anak itu juga punya penyesalan hidup yang sama, aku ngerasa bersalah sama anak itu."

"Jadi ... bagi aku saat ini, sendiri juga nggak pa pa." 

Karena aku sudah terlanjur dilahirkan. Biarkan aku kesepian dan kesakitan sendiri. Aku tidak mau menyeret siapa pun untuk ikut merasa pedih bersamaku lagi.

Manusia itu dilahirkan untuk datang dan pergi.

Hal-hal yang aku hargai bisa saja hilang dan mati tanpa aku sadari. Rasanya ... terlalu lelah. Emosi tumpulku tidak memiliki banyak ruang untuk bertahan lagi.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 10, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku dan CerminWhere stories live. Discover now