8. Aku dan Orang Normal

17.2K 2.5K 325
                                    

Aku lagi-lagi duduk di depan cermin. Degupan jantungku masih terdengar keras. Seluruh tubuhku memanas.

Aku hancur.

Lagi... lebur.

Tidak cukup hanya dengan dibayangi masa lalu, bahkan kenyataan yang kuketahui di masa itu saja masih membuatku seterpuruk ini.

Kebencian itu tetap terpupuk di dalam hati, penyesalan karena dulu tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melawan.

Seseorang yang kutahu, memberikan aku pernyataan yang lebih menyakitkan. Tidak ada seorang pun yang menerimaku apa adanya. Semua hanya menggunakanku sebagai alat.

Aku tidak lebih dari tisu toilet di mata mereka.

Sakit. Marah. Kesal.

Semua itu berkecamuk di dalam benak. Aku ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin menghapus diriku yang lemah di masa itu.

Harus sampai kapan aku berobat?

Harus sampai kapan ingatan buruk itu akan menghantuiku?

Hipnoterapi tidak bisa menghapus banyak trauma di masa lalu. Aku akan dibuat terbiasa dengan kenangan-kenangan hitam itu.

Memuakkan.

Setiap hari yang kukonsumsi hanya obat penenang.

"Hari ini, aku ketemu sama beberapa orang." Aku mulai bercerita pada bayanganku di cermin. Meluruskan pandangan, menyorot kosong. "Mereka itu orang normal."

Aku tersenyum kecil.

"Mereka gak punya simpati sama orang-orang sakit jiwa kayak kami." Aku mengembuskan napas kasar. "Gak masalah sebenernya, kalau aja mereka tutup mulut busuk mereka."

"Hm..." Aku yang lain menyahut. "Mereka bilang apa?"

Aku tertawa miris.

"Beberapa kali aku ketemu orang tipe yang sama. Orang-orang normal dan bahagia, emang kebanyakan sampah." Aku menopang pipi. Melihat ke arah jendela. "Kamu tahu apa pendapat mereka tentang orang-orang depresi?"

Bibirku merapat sesaat.

"Mereka yang depresi itu gak deket sama Tuhan. Mereka yang depresi itu cuma orang-orang sesat yang tidak memasrahkan semua hal pada Tuhannya. Orang-orang yang depresi itu..." Mataku melebar. Kemarahan kembali bergolak. "baperan."

Aku menjambak rambutku sendiri.

"ANJING-ANJING ITU TAHU APA?!!!" teriakku murka. Aku melemparkan semua benda di kasur sembarang arah. "MEREKA YANG SELALU HIDUP TENANG DIKELILINGI ORANG PEDULI, TAHU APA SOAL AKU?!!!"

"Mereka kira aku suka sakit kayak gini?!" Aku menjambak rambutku sendiri. "Mereka pikir aku gak capek hidup kayak sekarang? Aku ngeluarin banyak uang setiap bulannya cuma demi obat. Cuma biar bisa hidup di antara sampah-sampah sok manusiawi kayak mereka!"

Aku menangis histeris.

"Sebanyak apa pun aku minta Tuhan hapus masa lalu itu, TUHAN GAK BAKALAN HAPUS SEMUANYA!" teriakku parau.

"Mereka gak ngerasain dibully, ditatap hina, hampir diperkosa, dimanfaatin. Mereka gak pernah ngerasain semua yang aku rasain, PUNYA HAK APA MEREKA BACOT SEENAKNYA!!!"

Aku menjambaknya rambutku sendiri lagi.

"PARA BANGSAT ITU TAHU APA? BISANYA BACOT DOANG! SOK-SOK MENGATASNAMAKAN KEMANUSIAAN PADAHAL MEREKA AJA GAK BERHAK DIPANGGIL MANUSIA! KALAU MEREKA GAK PEDULI SAMA RASA SAKIT KAMI, SEENGGAKNYA JANGAN BACOT SOK TAHU TERUS, BANGSAAAAT!!!"

Aku terduduk jatuh. Membentur-benturkan kepalaku ke lantai. Menjerit parau mengungkapkan kepedihan yang kurasakan.

Siapa yang senang terkekang dengan masa lalu pahit?

Siapa yang mau hidup merasa tidak aman di mana pun dia berada?

Siapa yang mau merasakan kesakitan karena selalu merasa terasingkan?

Siapa yang mau merasa selalu kotor dan tidak berhak ada di antara banyak orang?

Siapa yang mau setiap harinya selalu mengutuk diri dan putus asa pada kehidupan?

Siapa yang mau setiap detik berpikir bahwa kematian mungkin satu-satunya jalan?

TIDAK ADA! SETAN!

AKU JUGA SAMA! AKU MEMBENCI DIRIKU YANG TIDAK BERGUNA SEPERTI SEKARANG TAPI MEMANGNYA AKU BISA APA?!!!

Nyaris tujuh tahun menjadi pasien psikiater itu tidak menyenangkan!

"BANGSAAAAT!!!!!"

Aku terengah-engah, berusaha mengatur napasku yang memburu. Dadaku panas, kepalaku sakit, asam lambungku kumat lagi.

Aku memuntahkan semua isi perutku ke lantai.

Sialan.

Aku duduk tegap lagi. Menatap cermin di depanku, aku yang lain tertawa puas.

"Manusia itu emang sampah." Aku yang lain mengangguk setuju. "Semua orang normal sok tahu dan sok tegar tanpa ngalamin apa yang kita laluin emang pantes mati."

Aku mengangguk setuju, "Bagusnya mereka semua emang mati dibantai teroris aja."

Aku berdiri. Tenggorokanku sakit. Aku terlalu banyak berteriak hari ini.

Minum, ah.

Aku berjalan meninggalkan kamar. Melihat ibuku yang bersandar ke dinding sambil menangis terisak.

Ibu berusaha tersenyum sambil menyodorkan nampan yang berisi beberapa biskuit, segelas air putih, dan lima jenis obat.

"Ibu... bawain kamu obat, Nak."

Aku tersenyum kecil, "Makasih, Bu."

***

Aku dan CerminWhere stories live. Discover now