2

37.5K 2.9K 74
                                    

- Seperti biasa double up khusus hari pertama publish
- Vote n coment jan lupa biar ane semangat up nya

.
.
.
.
.

.
.
.

Malam semakin larut, Anka sedari tadi menggenggam erat tangan Ian, menyalurkan rasa sakit dan sesak di dadanya. Keringat dingin membasahi kulit putihnya, serta selimut tebal menyelimuti tubuh ringkih nya.

"Ian,,,, daddy, mana? Anka ingin mereka hiks"

Anka mengalihkan pandangannya saat pertanyaannya tak mendapat jawaban. Di tatap nya dokter pribadi keluarganya yang tengah mengganti infus serta handuk di keningnya.

"Zac, mommy mana?.... Hey, apa kalian tuli? Hiks,,, sakit,.... .... Zac, apa Anka akan mati? "

Anka menyerah, setiap pertanyaannya tak satupun mendapat jawaban. Dia mencengkram tangan Ian lebih kuat saat rasa sakit itu semakin bertambah. Ian sendiri sedari tadi berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, dia tak mau tuan mudanya tahu. Ian melirik ke arah pintu kamar yang terbuka, di sana ada Theodor beserta istri dan kedua anaknya.

Dari raut keempatnya, Ian tahu kalau mereka khawatir tapi mereka tak bisa mengungkapkan rasa khawatir itu, apalagi ego begitu menguasai. Zac selesai mengganti infus, dia mendekat pada Theodor yang menatapnya penuh tanya. Zac menyeret Theodor menjauhi kamar Anka setelah meminta bodyguard menutup rapat pintu kamar.

"Gue gak mau buang banyak waktu jadi gue bilang intinya saja. Penyakitnya sudah terlalu parah, dan sampai sekarang ga ada pendonor yang cocok. Ditambah terjadi komplikasi pada sistem hatinya, sangat tidak memungkinkan buat dia bertahan. Satu hal yang gue bilang, kabulkan satu keinginannya, temani Anka kali ini saja sebelum lo menyesali semua keputusan lo! "

Zac berdecak kecewa saat mendapati Theodor hanya diam dan menatap pintu yang tertutup dengan tatapan menyedihkan.

"Theo! Apa alasan lo menjauhi Anka? Padahal setahu gue, lo sedari Anka kecil selalu posesif, tapi apa sekarang? Lo menjauh saat tahu Anka ga akan bertahan? Orang tua macam apa lo? Kemana sahabat gue yang penyayang? "

Theodor mengalihkan pandangannya, ucapan Zac menampar kuat mentalnya yang saat ini melemah. Dia sadar kalau dirinya bukanlah sosok orang tua yang patut di contoh, tapi bagaimanapun dirinya tak sanggup melihat Anka yang berjuang melawan penyakitnya.

"Theo!! "

"Gue mau putra gue benci, setidaknya sama sosok daddy yang ga bisa nepatin janjinya"

Zac mendengar itu mengaga tak percaya, sahabat nya yang dulu sangat tegas dan bijak mendadak jadi bayi besar. Dengan emosi Zac menapar pipi Theo hingga meninggalkan bekas yang sangat kentara.

"Dengan menjauhi Anka yang kondisinya memburuk? Hhaha otak lo emang udah rusak Theo. Gue kasihan sama Anka yang punya ayah bodoh kayak lo"

Zac menjeda ucapannya, dia menyeka air mata yang soalnya terus keluar dari sudut matanya.

"TEMANI ANKA SIALAN!! DIA PUTRA LO! PUTRA BUNGSU LO! DIA GA MINTA ISTANA ZAMRUD ATAU SEISI DUNIA! DIA CUMA INGIN LO NEMENIN DIA DI SAAT TERAKHIRNYA BANGSAT!! "

Zac menetralkan deru nafasnya lalu kembali masuk kedalam kamar dan mengajak Anka bicara, setidaknya mengalihkan perhatian Anka dari rasa sakit itu. Theodor masih terlihat ragu, berbeda dengan istri dan kedua anaknya yang langsung mendekat dan menggenggam tangan Anka, menyalurkan kekuatan yang mereka punya.

"Mom-my? A-bang? Sa-kit,,, "

Chintya mengelus surai putra bungsunya lembut seolah berkata semua akan baik baik saja. Enzo mengelus tangan Anka membuat Anka merasa sedikit hangat.

Ankara Si Antagonis Polos [ END √ ]Where stories live. Discover now