[PROLOG] Pemuda Bandung

757 65 3
                                    

Setiap sudut kota ini masih sama sejak terakhir kali Cantya menginjakkan kakinya di bumi ibukota. Walaupun sudah sejak 3 tahun yang lalu, Jakarta masih sama seperti saat pertama kali dia datangi dulu. Riuh pikuk kota ini, suara-suara kendaraan yang meramaikan pekat malam, para pedagang kaki lima yang masih bisa dia temui mungkin sampai jam sebelas malam nanti. Itu semua terekam jelas dalam ingatannya, terlebih lagi sosok laki-laki yang kini tengah terduduk tepat di depannya.

"Kalo kamu dikasih waktu untuk kembali lagi kesana, kamu mau, mas?"

Mahesa menatap Cantya yang berada di sebelahnya. Kota Bandung, kini menjadi topik pembicaraan mereka sudah sejak 20 menit lalu. Sunyi warung makan sederhana yang mereka singgahi menjadi saksi bisu pembicaraan berat itu. Sembari menunggu mie ayam pesanan mereka siap, Mahesa menyeruput kopi yang masih mengepul, terasa hangat di tenggorokannya. Setidaknya itu bisa meredakan dinginnya udara malam.

"Aku gak munafik dengan bilang 'nggak mau', karena nyatanya ada saat dimana aku juga rindu sama Bandung. Suasana kotanya, sekolahku dulu, temen-temen, ibuk, bapak, bahkan tempat-tempat sederhana kayak warung nasi goreng Bu Ajeng. Aku rindu semuanya."

Cantya menatap laki-laki itu dalam. Binar matanya sungguh memancarkan betapa ia rindu tanah kelahirannya. Semua suasana yang dia ceritakan, orang-orang yang katanya pernah menjadi teman, atau bahkan yang paling sering Cantya dengar adalah kebersamaan Mahesa dengan orang tuanya, juga rumah tempatnya di besarkan.

Tak jarang Cantya mendengar laki-laki itu mengutarakan isi hatinya. Dia ingin melihat ayah dan ibunya, dan juga menanyakan kabar mereka. Apakah setelah bertahun-tahun lamanya mereka masih sama?

"Tapi Bandung sesakit itu buat aku, dek. Hampir separuh hidupku aku jalani di kota itu, terseok-seok sendirian, sakit sendirian, sembuh juga sendirian. Aku ngerasa jadi anak durhaka karena udah ninggalin Ibuk sama bapak di sana. Tapi kalo aku pikir-pikir, mereka juga sama sekali gak ngerasa bersalah setelah semua ini."

Mahesa dengan masa kecil yang sudah dihancurkan. Cantya rasa jika dia berada di posisi Mahesa dia juga akan berakhir sama.

"Dulu mereka yang memberi pilihan, dan sekarang aku udah sama pilihan aku sendiri, dan aku nggak pernah nyesel. Di sini aku bahagia, ketemu anak-anak, bahkan ketemu jodohku. Aku nggak pernah nyesel singgah di Jakarta."

Cantya tersenyum, memang takdir semesta tak pernah ada yang tahu. Sosok Mahesa yang dulunya tak pernah dia kira akan menjadi suaminya, laki-laki dengan pemikiran dewasa, laki-laki dengan sabar seluas samudera, juga sosok bertanggung jawab yang Cantya yakin bisa menemani dirinya sampai akhir.

"Mau sesakit apapun Bandung buat kamu, mas, aku tetep berterimakasih pada Bandung, karena dia telah membesarkan kamu di tanahnya, mengizinkan kamu tumbuh dan kemudian menjadi utuh. Kamu sudah terlalu kuat untuk sampai di titik ini, dan Bandung buat kamu menjadi lebih kuat. Tanpa semua luka itu, kamu mungkin nggak akan pernah jadi laki-laki yang aku kenal sekarang."

Cantya benar, Bandung membentuk dirinya menjadi pribadi yang mandiri. Walaupun terseok-seok, jatuh dan bangkit lagi, Mahesa jadi tahu artinya berjuang. Nanti disaat dia terjatuh kembali, dia tak akan pernah berlarut-larut dalam kegagalannya karena dia tahu betul jalan mana yang harus dia ambil.

"Aku bahagia pernah kenal laki-laki Bandung ini. Dan aku berharap, aku jadi cinta terakhir kamu, mas, di kehidupan ini."

Tangan mungil itu mengait tangan Mahesa. Cantya tersenyum, membuat Mahesa juga menarik kurva lengkung di bibir tipisnya.

Dan tanpa mereka sadari, semesta akan kembali membawa mereka kepada Bandung yang memulai semuanya. Mengajari mereka tentang apa artinya perjuangan, kekuatan, atau bahkan cinta sejati yang mereka yakini akan abadi di kehidupan yang kini mereka jalani.

Di lembaran ini, mereka menulis kisah yang mungkin akan dikenang oleh anak cucu mereka dengan sebuah tragedi kisah cinta yang mungkin tak pernah mereka kira akan seperti apa. Inilah mereka, dengan Asmaraloka Milik Bandung, tempat yang penuh luka.

Asmaraloka Milik Bandung
©Indaheart, 2023.

2. Asmaraloka Milik Bandung | Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang