21 - Move On or Love On?

67 16 10
                                    

Lavita menarik napasnya dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan keras untuk kali ke 30 dalam satu jam terakhir.

Sejak ia dan rekan satu tim-nya memasuki ruang meeting karena Bapak Willy yang terhormat sudah selesai dengan urusannya sehingga bisa memimpin jalannya rapat bersama tim Ayla, sejak saat itu juga keinginan untuk mencabut segala keputusan yang Lavita ambil ---tepat sebelum dia menjemput Lita--- terus mendobrak segala ketenangan Lavita. Tiap dua menit sekali secara refleks Lavita akan menghela napasnya dengan keras, berupaya untuk menghilangkan perasaan tidak tenang tersebut dengan cara senatural mungkin. 

Jujur saja, sulit rasanya bagi seorang Lavita yang sudah memutuskan untuk move-on dari Dito namun situasi malah membuatnya harus berada satu meja dengan Dito. Bahkan seolah takdir mengaminkan keinginan di dalam lubuk hati Lavita yang paling dalam untuk tetap setia mencintai Dito, Dito yang biasanya duduk di sisinya, sekarang malah duduk diseberangnya. Membuat Lavita kesulitan untuk mengalihkan perhatiannya yang secara otomatis terus tertuju pada Dito. Dito seolah memiliki magnet tersendiri yang membuat Lavita ingin terus menatap wajahnya.

"Jadi bisa dibilang projek ini adalah projek akhir tahun yang cukup besar. Jadi klien kita ini nggak mau setengah-setengah keluarin dananya karena tau untung yang didapet juga lebih gede. Jadi kalau kita bisa atur pengeluaran seminim mungkin pasti bonus untuk tim kalian akan lebih besar dari projek sebelumnya"

Refleks Lavita memutarkan bola matanya dengan malas. Diantara fokusnya yang terpecah-pecah sekarang ini karena logika dan perasaannya, Lavita masih bisa mendengar dengan cukup jelas perkataan Bapak Willy barusan. Menambah beban untuk dirinya saja yang notabenenya dikhususkan untuk mengurus bagian logistik bersama Dito. Mau tidak mau Lavita harus bersusah payah survei berkali-kali untuk memenuhi kebutuhan pembuatan iklan dengan harga serendah mungkin namun kualitasnya tetap tinggi untuk bisa meminimalisir pengeluaran. Merepotkan sekali pokoknya.

Lavita menghela napasnya untuk yang ke 31 kalinya sebelum dia mengalihkan perhatiannya pada sosok yang duduk di seberangnya. Sosok yang menyimak segala penjelasan Pak Willy dengan raut tenangnya.

Sumpah ya mau dilihat dari manapun wajah Dito itu selalu berhasil menenangkan batinnya. Bahkan rasa-rasanya kekhawatirannya akan pekerjaannya bisa semudah itu menghilang ketika menatap wajah tenang Dito. Pokoknya adem sekali rasanya. Seolah-olah angin gunung tiba-tiba datang menerpa wajah Lavita. Membuat Lavita betah menatap wajah Dito.

Deg!

Lavita tersentak terkejut saat tiba-tiba saja Dito menoleh ke arahnya. Membuat manik matanya bertubrukan dengan manik hitam pekat Dito. Kesadaran Lavita pun kembali. Bahwa dia seharusnya berusaha untuk berhenti memuja Dito dan melupakan rasa cintanya pada Dito. Bukannya seperti ini.

'Ayo dong Lav. Nggak boleh lemah' batin Lavita berusaha untuk tetap teguh pada keputusannya. Sembari sesekali Lavita mengutuk refleks  sialannya ini yang selalu saja mengagumi segala hal tentang Dito. Kalau begini caranya bisa-bisa Lavita gagal move-on.

Tidak, tidak!

Lavita tidak boleh seperti ini. Lavita harus ingat resiko yang akan dia terima jika Lavita membiarkan dirinya terus mencintai Dito. Karena di masa depan nanti, Lavita akan merasakan rasa sakit yang amat luar biasa karena pada akhirnya cintanya tidak terbalaskan disaat dirinya sudah jatuh terlalu dalam pada Dito.

Lavita berdeham pelan berusaha menghilangkan perasaan tidak nyaman dihatinya. Dia terlihat melemparkan senyuman tipisnya pada Dito untuk memberikan kesan bahwa dirinya tidak sedang berusaha menjauhi Dito, sebelum Lavita membuang muka ke arah lain, memilih menaruh atensinya pada Pak Willy meskipun dia tidak benar-benar mendengarkan apa yang Pak Willy katakan di sana. Sekali lagi, urusan hati yang bertempur dengan logikanya membuat Lavita kehilangan fokusnya.

Imperfect Love (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang