[2] Ternyata

121 70 131
                                    

[2] Ternyata Tidak Hanya Aku

• ° • ° • ° • ° • ° • ° •

Bel masuk sekolah mulai berdering, mengganggu lamunan pahitku. Aku mengalihkan perhatianku ke arah pintu masuk dan melihat Syareen yang baru saja masuk ke ruangan kelas. Dia menatapku dengan perasaan penuh rasa bersalah, dan aku merasa semakin tertekan oleh kehadirannya.

Kejadian yang terjadi tiga bulan lalu yang menyebabkan meninggalnya Abang. Syareen sahabatku, juga terlibat dalam peristiwa tersebut dan berperan sebagai akar masalah.

(Flashback on)

Ketika sedang asik diriku bersenda gurau dengan teman sebayaku. Telepon genggam berdering kencang. Aku kesal dibuatnya, "ngapain sih Abang nelpon?" Sembari menekan tombol hijau kemudian kuletakkan di depan telinga kananku.

"Hallo.... Ilo pulang yok! Ibu sendiri dirumah!" Ucapnya ditelpon dengan nada yang lembut.

Mendengar hal itu aku berdecak kesal, lalu berkata, "Abang aja deh yang nemenin! Ilo masih pengen main! Boleh ya?"

"Yasudah jangan malam-malam ya! Kalau ada apa-apa telepon Abang!" Belum juga dia menyelesaikan omongannya, temanku langsung menekan tombol merah di layar ponselku.

Melihat itu aku mengegerkan bibirku kesal. "Sya, gak sopan!" Dia memang begitu, Syareen namanya. "Sorry gak akan lagi janji. Btw aku bosen tau Na! Main 'truth or dare' mau gak!"

"Kalau bisa 'dare or dare' aja dah, aku gamau jujur-jujuran!" Ucapku yang menentang permainan truth or dare.

Mengapa aku tidak suka jika mendapat pertanyaan 'truth' adalah, orang akan menanyakan hal pribadi yang tidak ingin aku umbar sama sekali. Ketika diriku tidak ingin menjawab, orang yang bertanya pasti mengatakan, "ah sangat tidak seru!" Padahal, setiap orang punya hal pribadi masing-masing yang orang lain tidak berhak untuk tahu.

"Oke kalau gitu... tapi mulai dari lo!" Mendengar hal itu darinya, aku langsung menyetujui, "okey!"

"Jangan yang aneh-aneh ya, Sya! Nanti kalau aku diusir dari rumah gimana?" Mendengar hal itu Syareen berpikir dengan hati-hati, karena sepertinya dia sadar kalau aku tidak ingin memainkan 'dare' yang terlalu menyulitkan.

"Yaudah deh... gimana kalau kali ini kita dilarang megang hp? Orang yang tergoda dan memegang hp duluan akan kalah dan harus traktir makan hari ini, gimana?" Aku menerima usulan itu, karena menurutku tidak sulit untuk dilakukan. "Oke, setuju!"

"Mending kita matikan suara hp-nya juga, supaya gak ada godaan," saran Syareen. Aku menganggukkan kepala, menandakan bahwa aku setuju mendengarnya.

"Dare dimulai sekarang!" Seruku, menandakan bahwa permainan telah dimulai.

"Ingat gak sih Na, waktu SMP kita pernah main 'dare' juga. Darenya ajak kakel yang gak di kenal pulang bareng!" Syareen mengucapkan hal itu dengan entengnya, membuat senyum tipis terukir di bibirnya. Aku merasa panas membara di wajahku saat Syareen membicarakan kejadian itu. Memang, itu adalah salah satu momen yang membuatku merasa gugup dan malu di masa lalu.

"Shhh! Jangan diomongin, Sya. Maluuuuuuuu!" Wajahku memerah saat mengingat momen itu. Meskipun begitu, aku juga merasa sedikit bangga karena menghadapi rasa takutku dan menjalani tantangan yang berharga.

"Terus keadaan kakak itu gimana Na?" Tanya Syareen dengan penuh penasaran. Karena menurutku tidak ada yang menarik, maka dari itu aku menjawab dengan jujur. "Gak ada... semenjak itu aku gapernah liat dia lagi, dan gamau ketemu dia lagi. Malu!"

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang