2. Pertemuan

110 18 10
                                    

Memiliki rumah mewah, kendaraan pribadi, dan pasangan yang akan setia menemani dalam suka maupun duka. Itulah hal-hal yang selama ini menghiasi khayalanku. Sebagai seorang pemuda yang duduk di bangku kelas 2 SMA. Apakah itu terdengar sedikit aneh? Percayalah, sebagian besar pemuda yang seumuran denganku mengkhayalkan hal semacam itu.

Bahkan untuk meraih itu semua, berbagai cara pasti akan aku tempuh. Terutama dalam hal pendidikan. Dan itulah jalan yang aku pilih. Sebab aku yakin, hanya itulah jalan satu-satunya yang bisa membuat semua khayalanku menjadi kenyataan.

Untuk itu, sebagai salah satu peraih beasiswa di SMA Pelita Harapan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Di samping kemampuanku dalam bidang akademik yang terbilang cukup baik, statusku sebagai pemuda yatim-piatu dan putra dari seorang mantan atlet tinju nasional membuatku berkesempatan menerima beasiswa di sekolah favorit itu.

Ya, itu benar. Dahulu Ayah adalah seorang atlet tinju nasional. Namun beliau wafat saat umurku 13 Tahun. Kemudian, dua bulan setelah kepergian Ayah, Ibu pun wafat akibat penyakit yang dideritanya. Orang-orang berkata bahwa Ayah mengalami kecelakaan tabrak lari, saat sedang dalam perjalanan menjenguk Ibu di rumah sakit.

Ironisnya, sampai sekarang pelaku penabrakan itu belum juga ditemukan. Aku selalu berharap suatu hari nanti, orang itu akan tertangkap dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Aku sangat bersyukur. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, aku masih memiliki seorang Nenek yang selalu menemani dan merawatku. Membesarkanku seperti anaknya sendiri. Serta membantuku melewati masa-masa sulit yang aku alami saat itu. Aku telah berjanji kepada mendiang Ayah dan Ibuku, kelak aku akan membahagiakan Nenek dan membuatnya bangga telah membesarkanku.

Tentu saja itu tidak mudah. Satu-satunya cara yang ku miliki sekarang adalah menunjukkan prestasiku di sekolah, baik itu dalam hal akademik maupun non-akademik. Tadinya semua usahaku berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, saat 'si Bajingan' itu datang, semuanya berubah.

• • •

"Kriiiiing!!!"

Pagi itu, suara bel berbunyi. Menjadi tanda masuknya para murid ke dalam kelas untuk segera memulai pelajaran. Hari itu semua berjalan seperti biasa. Sebagaimana di setiap sekolah pada umumnya, seorang guru akan mengawali kelas dengan mengabsen satu-satu muridnya.

"Adelia Putri Pratama!" seru Pak Robert. Guru matematika yang sedang membacakan buku absen di depan kelas.

Mendengar namanya dipanggil, si Putri dengan sigap menyahut sembari mengangkat tangan. "Hadir, Pak!" begitu juga dengan murid lain yang dipanggil setelahnya.

"Aditya Saputra!"

"Saya Pak, Hadir!"

"Adrian Felix!"

"Hadir!" sahutku. Absen pagi itu pun berakhir pada nama si Bajingan itu.

"Zavier Hendrik!"

"Yaa...Hadir, Paaak!" sahutnya dari bangku paling belakang.

Satu setengah jam pelajaran pun telah berakhir. Kini waktunya kami beristirahat. Sebagian besar murid langsung berlari menuju kantin begitu mendengar bel istirahat berbunyi. Beberapa dari mereka memilih tetap berada di dalam kelas dan bermain dengan gadget mereka. Sedangkan sebagian kecil lagi, lebih memilih duduk membaca buku mata pelajaran selanjutnya. Salah satunya adalah aku. Inilah bentuk keseriusanku dalam belajar. Mengingat bahwa ini adalah tahun keduaku di SMA Pelita Harapan. Sehingga, aku tidak boleh menyia-nyiakan waktuku.

Di saat sedang serius membaca buku, terdengar suara beberapa murid yang sedang bermain di belakang kelas. Itu adalah Hendrik dan juga dua kawannya, Anton dan Bagas. Jujur saja, suara mereka sangat mengganggu konsentrasiku saat itu. Begitu pula dengan beberapa murid lain yang juga sibuk membaca buku.

"Hey, lihat cewek ini! Cantik, kan?" tanya Hendrik dengan nada sombong sembari menunjukkan layar HPnya kepada kedua kawannya itu.

"Waaah...Lihat kulitnya, mulus banget! Cewekmu Hen?" tanya Anton yang penasaran.

"Bukan. Mainanku berikutnya, haha!" jawab Hendrik tengil.

"Sialan! Dasar, playboy kelas kakap!" ucap Bagas menanggapi perkataan Hendrik yang menggelikan itu.

Ketika mereka sedang asik mengobrol, terlihat salah seorang murid memasuki kelas dengan langkah cepat mendatangi Hendrik sambil membawa tiga minuman kaleng di tangannya. Itu adalah Edi, murid yang selama ini dianggap oleh Hendrik sebagai kacungnya. Anak itu benar-benar berengsek. Sekilas, kedua mata kami bertemu, sebelum akhirnya Edi berlalu melewatiku.

"I-ini minuman yang kalian pesan." ucap Edi sembari memberikan minuman kaleng yang dipegangnya satu persatu.

"Sial, kenapa lama sekali!? Apa kau ingin buat kami dehidrasi, hah!?" tanya Anton dengan nada kesal.

"Ma-maaf, ta-tadi antriannya sedikit panjang. Jadinya aku..."-"~Plak!" belum juga selesai berbicara, Bagas yang ikut kesal langsung melayangkan tamparan ke kepala Edi.

Anton yang sejak tadi duduk di atas mejanya segera berdiri dan mencengkeram kerah baju milik Edi. "Bocah sialan! Sudah berani menjawab sekarang. Kau ingin mati, hah!?"

"Pffft!" terdengar suara Hendrik menyemprotkan minuman dari mulutnya yang membuat seisi kelas terkejut.

Dengan raut wajah yang penuh kekesalan, Hendrik lalu berdiri dan menjambak rambut Edi. "Apa ini!? Bukannya tadi ku suruh beli rasa cokelat!?"

"Ta-tapi, tadi kau bilang rasa Vanilla." jawab Edi gemetar.

Mendengar ucapan itu, membuat Hendrik melepaskan tendangan langsung ke arah perut Edi dan membuatnya jatuh tergeletak di lantai. Tidak sampai di situ, si Bajingan itu kemudian menginjak-injak tubuh Edi yang terlihat sedang melindungi wajahnya dengan kedua tangannya. "Jadi maksudmu, aku berbohong? hah!? Dasar, bocah sialan!"

Seisi kelas hanya terdiam menyaksikan perbuatan mereka yang benar-benar biadab. Pada momen inilah, jantungku berdegup kencang. Aku benar-benar bisa merasakan adrenalin yang meningkat dalam diriku. Bahkan tubuhku terasa seperti sedang bergerak dengan sendirinya. Berdiri perlahan, dengan langkah senyap menghampiri si Bajingan itu. Dengan tangan kanan yang mengepal, ku arahkan tinju yang kuat dan kencang tepat di wajahnya.

~Dhuak!!!

To The Top [TUNDA]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ