4. SMA Putra Dandelion

54 16 4
                                    

Keesokan harinya, aku mencoba mendaftarkan diri ke beberapa sekolah lain. Berharap ada di antaranya yang bersedia menerimaku. Sayangnya, tingginya biaya pendidikan saat itu menjadi masalah utama bagiku. Dari semua sekolah yang masih menerima murid baru, SMA Putra Dandelion menjadi satu-satunya pilihan terakhirku.

Ya, SMA yang hanya di isi oleh murid laki-laki itu adalah sekolah yang dikenal sebagai sekolahnya para murid bermasalah yang dibuang oleh sekolah lain. Rendahnya biaya pendidikan di sekolah ini, menjadikannya sekolah yang banyak diisi oleh kalangan menengah ke bawah. Inilah kesempatanku untuk membangun kembali semua impianku.

Setelah mengikuti semua proses yang ada, tiba hari pertamaku masuk sekolah. Sebagaimana dahulu saat masih di SMA Pelita Harapan, setiap pagi aku harus berangkat sekolah menggunakan transportasi umum. Tidak seperti murid lain yang setiap hari mereka membawa kendaraan pribadi.

Saat dalam bus secara tidak sengaja aku bertemu beberapa murid SMA Dandelion yang juga sedang dalam perjalanan menuju sekolah. Jujur, penampilan mereka tidak terlihat seperti seorang pelajar. Bahkan semua orang yang melihatnya akan mengira mereka adalah sekumpulan preman.

"Apa yang sedang kau lihat? Mau aku pukul kedua matamu itu?" ucap salah seorang di antara mereka. Aku hanya berpaling dan tidak menghiraukan pertanyaan itu.

Beberapa saat kemudian, bus yang aku tumpangi berhenti di sebuah halte yang jaraknya tidak jauh dari sekolah baruku. Dalam perjalanan menuju pintu gerbang, tampak beberapa murid berjalan sembari memegang puntung rokok di tangan mereka. Ada juga yang meletakkannya di atas telinga. Bahkan beberapa dari mereka terlihat tidak membawa tas sama sekali. Ketika sedang melihat pemandangan yang tak wajar itu, seseorang menepuk pundakku dari arah belakang.

"Hai! Apa kau murid baru? Bisa kulihat dari ekspresi wajahmu. Saat perjalanan kemari, kau tampak begitu kebingungan." tanya seorang murid menyapaku.

Siapa orang ini!? Apa yang sedang dia bicarakan!? batinku.

"Aaa, tadi kita satu bus saat kemari. Apa kau tidak sadar itu?" jelasnya. "Wah! Itu sangat mengecewakan. Bagaimana bisa kau tidak melihatku."

Dia terus-menerus berbicara padaku, seakan-akan dia mengenalku. Tapi tak satupun omongannya kutanggapi.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi, Dah!". Dia pun berlalu begitu saja meninggalkanku.

Sesampainya di kelasku, yaitu kelas XI-E. Aku disambut dengan pemandangan seisi ruangan yang tampak ricuh. Para murid saling melempar buku dan sepatu. Bahkan di antara mereka ada yang terlihat sedang berkelahi. Pemandangan yang tidak pernah kulihat di sekolahku sebelumnya.

Seketika seorang guru yang kebetulan mendampingiku dan juga merupakan wali kelasku, segera mencoba menertibkan seisi ruangan.

"Semuanya, tenang!" teriak sang guru sembari beberapa kali memukulkan penggaris kayu ke atas mejanya. Setidaknya cara itu bisa sedikit menenangkan mereka semua. Meski beberapa di antaranya masih terlihat menggerutu. "Hari ini kita kedatangan murid baru. Baiklah, silahkan perkenalkan dirimu."

"Hai! Perkenalkan, namaku Adrian Felix. Kalian bisa memanggilku Felix." ucapku menyapa mereka. Mataku melirik ke kiri dan ke kanan.

Sudah kuduga, itu adalah hal yang sia-sia. Bahkan tak satupun dari mereka ada yang memperhatikan. Semua orang terlihat mengabaikanku. Kecuali, pria berkacamata yang duduk di bangku paling depan, tepat di hadapanku. Dia sedikit merespon dengan memberi lambaian tangan kecil dari balik mejanya.

"Baiklah, kau bisa duduk di belakang Algi." ucap sang guru sembari menunjuk bangku kosong di belakang pria berkacamata itu. "Sekarang, keluarkan buku sejarah kalian. Kita lanjutkan materi minggu lalu." pungkasnya yang diikuti sambatan para murid.

• • •

Jam pertama pun berlalu. Tiba waktunya bagi kami beristirahat. Saat sedang menyibukkan diriku membaca buku, tiba-tiba saja seseorang dari arah belakang melemparkan sepatu tepat mengenai kepala Algi. Sontak hal tersebut juga memecah konsentrasiku.

"Hei, mata empat! Bawakan sepatu itu kemari." seru salah seorang murid yang terlihat duduk dengan beberapa murid lain di dekatnya. Algi pun segera mendatanginya dan melakukan apa yang diperintahkan.

"I-ini sepatumu." ucap Algi sambil berjalan kembali menuju tempat duduknya.

"Tunggu! Kau mau kemana?"

Seketika pertanyaan itu membuat langkahnya terhenti. "Ke-kembali ke mejaku."

"Uang jajanmu. Berikan semua uang jajanmu."

Tanpa berpikir panjang, Algi pun segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya dan memberikannya kepada orang itu.

"Yang benar saja. Hanya ini?!" dengan raut wajah kesal pria itu kemudian berdiri mendekati Algi lalu memegang kedua pundaknya.

~Bukk!

Satu tendangan lutut tepat di ulu hati membuat Algi langsung jatuh bertelut di lantai. Ia mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Murid-murid lain yang bersama pria itu hanya bisa menertawakan Algi, seakan-akan itu adalah hiburan bagi mereka.

"Kau mau main-main denganku, hah?! Kalau kubilang semua yah semua, dasar tikus kecil sialan!" ucap pria itu sembari merogoh isi saku baju dan celana Algi. Setelah mengambil semua uang miliknya, pria itu kembali duduk dan meninggalkan Algi begitu saja.

Tentu saja kejadian itu sangat mengusik pikiranku. Hatiku tergerak ingin membantunya. Namun, aku teringat kejadian buruk yang dahulu menimpaku. Kali ini aku akan menahan diri dan memilih untuk tidak terlibat dengan masalah apapun. Ini semua demi masa depanku.

"Hei, anak baru! Apa kau tidak ingin membantunya?"

Aku terkejut mendengar suara seseorang dari arah depan. Tanpa kusadari, seorang murid sedang duduk di atas meja Algi dengan kedua tangannya yang berpangku di atas lutut. Ternyata itu murid yang menyapaku tadi pagi di depan gerbang. Matanya memandangi kedua tanganku yang mengepal sejak tadi.

"Apa untungnya bagiku?" jawabku ketus.

"Baiklah, jika tak mau, biar aku saja. Kebetulan aku sedang lapar."

Ia pun turun dari meja Algi. Berjalan dengan kedua tangan di dalam saku celananya menghampiri para murid berandalan itu. Satu persatu dari mereka mulai menyadari kehadirannya.

"Haha, lihatlah para cecunguk ini! Tidak cukup hanya dengan menindas orang yang lemah. Bahkan juga berani merampas barang milik orang lain. Dasar, sampah!" cemooh pria itu.

"Berengsek! Siapa bedebah ini?! Beraninya berbicara seperti itu." timpal salah seorang dari mereka.

Wajah si berandal yang merampas uang milik Algi tampak begitu pucat. Ia seperti mengenal siapa sosok yang sedang berdiri di hadapannya itu.

"Ada apa denganmu? Kau seperti sedang melihat hantu. Sebaiknya, kau segera mengembalikan semua uang yang kau ambil. Jika tidak, kubuat wajahmu babak belur, haha!"

"B-baik, Riki."

Setelah mendengar nama itu diucapkan, kini giliran wajah teman-temannya yang tampak begitu pucat seperti baru saja melihat hantu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

To The Top [TUNDA]Where stories live. Discover now