Bab 16

1.1K 67 1
                                    

Di kediaman Alexander

Sudah beberapa hari Brian mencoba menekan segala emosinya, dia terus saja memecahkan barang-barang yang ada disekitarnya, termasuk menyakiti dirinya sendiri.

Brian sangat ingin menemui Rayasa-nya, namun si brengsek Arland terus saja menghalanginya. Andai saja ia bisa membunuh, sudah dapat dipastikan orang yang pertama kali menjadi targetnya adalah Arland.

"argghh, sialan itu terus saja berusaha menjauhkanku dari gadis kecilku. Awas saja kau Arland akan ku buat kau menyesal sudah mengambil gadis kecilku." katanya dengan raut wajah yang dipenuhi kebencian.

Jangan ditanya bagaimana perasaannya saat ini, tentu saja ia sangat khawatir dengan keadaan Rayasa. Dia sampai rela menunggu gadis kecil itu di depan ruang kamar inapnya, setelah dioperasi Raya dipindahkan keruang rawat inap. Meski dalam keadaan koma. Brian berharap gadis kecilnya akan segera bangun dari tidurnya panjangnya, entah harus berapa lama Brian menunggu namun ia berharap bisa melihat gadis itu lagi.

****

Sudah satu bulan Rayasa tidak sadarkan diri, dia tetap setia menutup matanya. Dua orang laki-laki yang setiap ada kesempatan menjaganya, masih berharap Raya akan babgun.

"Ray, kapan lo bangun? Jangan tidur terus gue kangen sama lo." kata Rayyan sambil menggenggam jemari adik kembarnya.

Saat ini keadaan Rayyan tidak bisa dibilang baik-baik saja. Dia terlihat pucat dan kurus. Serta kantung mata terlihat, mungkin dia kurang istirahat.

Bagaimana tidak setiap pulang sekolah Rayyan langsung menuju rumah sakit, terkadang ia juga menginap untuk menjaga adik kembarnya.

Padahal jarak dari rumah sakit ke sekolah lumayan jauh, tapi dengan keras kepala Rayyan menolak ajakan papinya untuk pulang kerumah. Katanya ia akan menjaga Rayasa sampai ia sadar. Meski tidak tau kapan Raya akan terbangun.

"jangan terlalu memaksakan diri Rayyan,  papi tidak mau kamu sampai sakit!" suara tegas Arland membuat Rayyan terkejut. Ia tak sadar kalau papinya masuk ke ruang rawat Rayasa.

"iya pi, sebentar aku mau nunggu Raya bangun.  Tapi aku gak tau kapan?" ucap Rayyan sendu, dia memandang wajah pucat adiknya yang sedang menutup mata.

"tidak Ray, jangan sampai kamu juga sakit. Kalau kamu juga tumbang bagaimana jika adikmu bangun? Apa kamu mau Raya melihatmu dalam keadaan sakit juga?" Rayyan berpikir sejenak, ucapan papinya ada benarnya juga. Kalau dia juga sakit siapa yang akan menjaga Raya.

Setelah berpikir akhirnya Rayyan mengangguk tanda setuju, melihat itu Arland merasa lega karena putranya mau mendengar ucapannya. Ia tak tau bagaimana lagi harus membujuk Rayyan jika saja ia tidak mau meninggalkan adiknya.

"papi jaga Raya ya, besok aku kesini lagi. Ingat ya pi jangan biarkan siapa pun mendekati atau melihat Raya.! Aku tidak sudi ada yang mendekatinya. Apa lagi si brengsek Alexander, rasanya ingin ku bunuh saja." Rayyan berkata dengan nadanya yang berapi-api, seakan orang yang dibicarakan ada dihadapannya. "kalau bukan karena Brian Alexander aku yakin adikku masih bisa tersenyum." seakan melihat senyum adiknya,  Rayyan ikut tersenyum. Ia merasa sangat bersalah pada Rayasa.

"aku pergi ya pi." setelah mengucapkan itu Rayyan berbalik meninggalkan kamar rawat adiknya. Ia harap Raya akan segera sadar.

Sementara Arland hanya tersenyum getir, ia merasa sangat bersalah pada anak-anaknya. Andai saja ia tidak melibatkan Rayyan, orang itu tidak akan menyakiti putrinya.

Arland sudah tau pelaku yang melecehkan putrinya. Dan Arland sedang berusaha mengejar bajingan itu.

****
"bisa kita bicara Land, ada yang ingin aku sampaikan mengenai kondisi Raya saat ini." saat sedang memandang putrinya,  dokter Rendi masuk ke kamar rawat Rayasa. Ia terlihat serius menatap Arland.

"tidak bisa disini saja Ren? Aku takut terjadi apa-pa pada putriku." kata Arland dengan raut wajah cemas.

"tidak ada yang perlu dikhawatirkan Land, fisiknya mungkin cepat pulih. Tapi mentalnya siapa yang tau! Aku harap kamu siapkan hatimu Land,  jangan bertindak ceroboh pada putrimu." jelas Rendi sambil menatap wajah putri sahabatnya, Rendi sangat menyayangkan nasib Arland.

Dengan terpaksa Arland keluar meninggalkan Raya seorang diri, jujur saja dirinya trauma meninggalkan putrinya sendirian.

Arland dan Rendi keluar dari kamar rawat Raya, mereka tidak pergi jauh hanya di depan pintu. Takut ada seseorang yang mengincar nyawa putrinya.

"apa yang terjadi pada putriku Ren? aku rasa pembicaraan kita sangat penting!" suara Arland membuka pembicaraan keduanya.

Rendi yag mendengar Arland yang tidak sabar dengan ucapannya, menghela nafas panjang. Tidak tau bagaimana cara menyampaikan berita ini pada sahabatnya.

"tapi kamu harus janji akan bersikap tenang ya Land, aku tidak mau kamu sampai bertindak gegabah."

" jadi apa masalahnya?  Cepat katakan.!" ucap Arland tak sabar.

"tenang Land, sebenarnya Rayasa sedang hamil dan usia kandungannya berjalan 4 minggu." mendengar ucapan Rendi, Arland terduduk lemas. Bagaimana mungkin? Apa yang akan terjadi jika Rayasa tau bahwa kejadian saat itu menghasilkan sebuah janin? Apa ia bunuh saja bajingan yang sudah memperkosa putrinya.

Tapi yang lebih dikhawatirkan lagi, bagaimana nanti saat Raya tau bahwa dirinya mengandung?  Segala pemikiran negatif terlintas dikepalanya.

Arland merasa sangat bersalah pada Rayasa, kalau bukan karena dirinya semua tidak akan terjadi.

Arland meremas dadanya, ia merasa sesak nafas. Apa ia akan mati tanpa meminta maaf pada putrinya.

Dalam kondisi setengah sadar, ia mendengar suara Rendi yang berteriak memanggil namanya. Hingga suara itu semakin kecil dan hilang bersama dengan kegelapan yang menghampirinya.

"Arland.." dokter Rendi panik saat sahabatnya tidak sadarkan diri, dia memanggil dokter yang ada melupakan dirinya yang juga seorang dokter.

~to be continued~

The story of figureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang