8). Khawatir tapi Gengsi

26 3 2
                                    

***

"Kal, akhirnya kamu datang juga. Daritadi Papa kamu nanyain terus."

Baru sampai di ruang tengah rumah, ucapan tersebut langsung menyambut Kalania dan bukan orang lain, yang melontarkan kalimat itu adalah sang mama tiri yang kini berdiri di tengah tangga.

Tak pulang ke apartemen usai menghadiri makan malam di rumah Rainer, Kalania memang memutuskan untuk pulang ke rumah sang papa setelah sebuah kabar tak baik diterimanya dari sang mama tiri.

Lukman sakit dan ingin bertemu dengannya.

Itulah informasi yang Kalania dengar beberapa waktu lalu sehingga dengan perasaan khawatir, dia langsung bergegas menuju rumah dan karena jalanan malam ini lancar, Kalania hanya perlu waktu empat puluh menit saja untuk sampai di tempat tujuan.

Tak akan pulang, rencananya Kalania akan menginap di rumah Lukman jika memang sang papa sakit karena meskipun ada sang mama tiri sebagai pendamping, dia pikir dirinya masih memiliki kewajiban untuk merawat pria yang sudah membesarkannya sejak dulu tersebut.

"Papanya di mana sekarang?" tanya Kalania.

Tak punya hubungan buruk dengan sang mama tiri, interaksi baik memang selalu terjadi setiap bertemu. Namun, memang untuk akrab sebagai sahabat atau ibu dan anak, Kalania belum bisa karena setiap kali bersama dengan sang mama tiri yang usianya hanya dua tahun lebih tua darinya, dia canggung.

"Papa di kamar lagi tiduran, cuman ya itu. Beliau nanyain kamu terus. Padahal, aku udah bilang kalau kamu pasti datang setelah aku telepon. Kangen katanya."

Menghela napas kasar, setelahnya itulah yang Kalania lakukan sebelum akhirnya melangkah menuju tangga kemudian naik dan begitu sampai di dekat sang mama tiri, dia bertanya,

"Sakitnya beneran cuman demam aja, kan?" tanya Kalania—mengingat lagi ucapan sang mama tiri beberapa waktu lalu ketika meneleponnya.

"Iya kalau sakit serius cuman itu. Tadi kan aku udah panggil dokter dan katanya enggak ada yang serius. Papa kamu cuman kecapean jadi demam terus mungkin beliau kangen juga sama kamu."

"Ya udah deh gue ke kamar Papa dulu," kata Kalania. "Itu lo mau ke mana?"

"Simpan piring bekas Papa kamu makan terus aku juga mau makan karena belum sempat makan malam. Tadi enggak enak kalau ninggalin Mas Lukman. Jadi aku temenin dulu."

"Oh makasih."

"Buat?"

"Pengabdiannya buat Papa gue," kata Kalania. "Meskipun usia lo sama Papa udah kaya anak sama Bapak, tapi gue lihat lo cukup bertanggungjawab sebagai istri."

"Oh, itu emang udah kewajiban aku sebagai istri. Kamu tenang aja."

"Oke deh," kata Kalania. "Sana makan biar enggak ikutan sakit kaya Papa."

"Iya."

Berpisah di pertengahan tangga, setelahnya Kalania dan sang mama tiri berjalan ke arah berbeda. Dia naik ke lantai dua sementara sang mama turun menuju lantai satu untuk kemudian pergi menuju dapur.

"Pa."

Tiba di kamar setelah melangkah beberapa meter dari tangga, panggilan tersebut langsung dilontarkam Kalania pada Lukman yang kini duduk bersandar di tempat tidur dan tentunya tak ada adegan mengetuk pintu, Kalania bisa langsung masuk karena posisi pintu kamar yang sebelumnya terbuka.

"Kala, akhirnya kamu datang. Papa kangen."

"Papa sakit apa?" tanya Kalania—sigap mengambil posisi di samping kasur. "Tumben banget Papa sakit. Biasanya juga kuat."

Dendam Mantan! (Gagal Jadi Pacar, Gas Jadi Kakak Ipar)Where stories live. Discover now