BAB 3 : Jadi Imam

64 7 1
                                    

Setelah menemukan tempat wudhu, Sayyid meletakkan tasnya di tempat kering, dia lalu berjalan ke aliran air yang mengalir tersebut.

"Nawaitul whuduua liraf'il hadatsil asghari fardal lillaahi ta'aalaa." Tidak lupa Sayyid mengucap niat Wudhu yang benar, kemudian dia mulai mengusap tangannya dan kumur, setelah itu tubuhnya yang lain.

Seperti hidung, wajah, tangan, rambut, telinga, dan terakhir adalah kaki. Semuanya di lakukan sebanyak tiga kali, untuk setiap bagian tubuh.

Ini dilakukan untuk mensucikan diri, saat akan ibadah menghadap Sang Khaliq. Akan tidak sopan jika kita beribadah ke Allah, namun kita belum suci.

Nabi pun bersuci jika akan Sholat, jadi kenapa manusia yang bahkan lebih rendah drajatnya dari nabi tidak mau bersuci saat beribadah ke Tuhannya?.

Setelah semua bagian tubuhnya terbasuh, dia lalu memakai tarbus hijau yang dililit kain sorban putih. Oh, tarbus ini dihadiahi oleh gurunya di saat dia akan pulang.

Setelah memakai tarbusnya, Sayyid membaca doa setelah wudhu. Usai berdoa, dia berjalan sambil membawa tas kainnya.

Sesampainya di Langgar, dia melihat bahwa jamaah di sana belum memulai sholat.

"Eh? Belum mulai to?." Tanya Sayyid saat melihat Jamaah yang memandangnya, dia sayangnya tidak melihat ke sisi wanita dimana beberapa gadis terkikik melihat Sayyid.

"Belum nak, Pak Rohmat sedang tidak enak badan. Dia satu - satunya muazin dan imam di desa ini." Seorang pria berbicara dengan hormat, dia lalu menjelaskan alasannya.

Sayyid melihat seorang pria dengan blangkon dan bepakaian khas jawa sedang duduk di kursi, tubuhnya sangat reot. Sayyid memperkirakan itu berusia 70 atau 80 tahun.

"Baik, saya akan melakukannya." Sayyid mengangguk, dia lalu meletakkan tas dan berjalan ke depan dekat imam.

Sayyid meletakkan tangan di dekat telinga, dia lalu menutup telinganya. Kemudian dia menghirup udara secukupnya, setelah itu dia mulai melantunkan Iqomah.

Itu adalah sebuah iqomah atau panggilan bahwa sholat Dhuzur akan dilaksanakan, nada yang digunakan oleh Sayyid adalah nada Kurdi campur Kashmir yang indah. Yang agak berbeda dengan Iqomah Jawa langgam yang biasa dikumandangkan.

'indah...' pikir semua orang, saat mendengar suara iqomah yang berbeda ini.

Oh, karena iqomah Sayyid berbeda dari yang lainnya. Di saat ia di pesantren, dia sering menjadi muazin masjid disana.

Setelah iqomah, sayyid berjalan ke tempat imam. Dia berbalik dan melihat jemaah yang shafnya kurang rapat, dia lalu menasehati orang - orang ini.

"Kanjeng Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam pernah bersabda, rapatkan shaf bapak dan ibu, sesungguhnya shaf yang rapat adalah bagian dari kesempurnaan sholat. Jadi tolong dirapatkan." Ingat Sayyid, dengan menggunakan sabda nabi untuk merapatkan shaf sholat.

Mendengar ini, jemaah langsung merapatkan shaf mereka serapat mungkin.

Setelah mengingatkan, Sayyid berbalik menghadap kiblat dan membaca niat sholat dzuhur sebagai imam.

"Ushalliy fardha-zzhuhri arba'a raka'atin mustaqblilal-qiblati adaa-an imaman lillahi ta'ala... Allahuakbar!." Membaca niat sholatnya, kemudian takbir dan membaca doa iftitah panjang.

Setelah Sayyid sebagai imam melakukan takbir, jamaah yang baru saja selesai membaca niat Dzuhur sebagai makmum mengikutinya takbir dan membaca doa iftitah di mulut mereka, setidaknya hanya mereka sendiri yang mendengar.

Rise Of Nusantara : Amangkurat IWhere stories live. Discover now