0.1

998 48 0
                                    

Regina merasakan seluruh tubuhnya seperti habis dikeroyok, badannya sakit semua, ditambah suhu badan yang panas dengan rasa dingin menambah parah.

Mama masuk kembali ke kamarnya, mengecek suhu tubuhnya lewat kening. Lalu, beranjak memeras kompresan untuk diletakkan disana.

"Mama kira kamu beneran nginap di rumah Dinda, tau-taunya pulang jam satu malam. Mana gak ada suaranya lagi," cerocos Mamanya.

"Gak enak sering nginap di rumah Dinda, makanya Rere milih pulang."

Mama menghela nafas dan menggeleng-geleng. "Mama tadi udah titip surat ijin sama Aji,"

Regina cuma mengangguk dan memilih memejamkan mata kembali. Matanya terasa panas dan sedikit mengganggu.

Tak selang berapa lama, ada suara keributan diluar. Langkah kaki orang terdengar memasuki kamarnya yang tak tertutup rapat.

"Orangnya tidur ya, Ma?" Regina menghela nafas saat yang dia dengar adalah suara Dinda. Manusia satu itu pasti bolos.

"Mama tinggal dulu ya, bangunin aja dia, gak tidur itu."

Tak berapa lama ada guncangan yang lumayan kencang di lengannya. "Woi bangun! Pura-pura sakit lo, ya!"

Regina berdecak, tak menggubris, memilih memunggungkan Dinda.

"Ihh anjir anak ini. Woi!" Guncangan malah semakin kencang, seperti gempa.

"Apa sih nyet ah!"

"Gak usah pura-pura tidur, gue tau lo gak tidur, ya!"

Mau tak mau Regina berbalik dan membuka mata. Menatap tajam sahabatnya dari jaman SD itu. "Kepala gue pusing, pulang deh lo atau balik ke sekolah kek!"

Dinda menggerutu, menyentil batang hidung Regina, sontak perempuan itu mengaduh kesakitan. "Setan!" Umpatnya.

Dinda acuh, memilih naik ke atas kasur. "Lo kok bisa sakit, sih? Perasaan kemarin masih riang gembira."

Regina menghela nafas. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur, rasa peningnya lumayan hilang mendengar racauan Dinda.

"Si monyet, ditanya malah ngelamun jorok,"

Regina berdecak. "Tutup pintunya dulu, biar gue ceritain!"

Tanpa protes Dinda bergerak menutup pintu dengan cepat, lalu kembali naik ke kasur sambil memeluk guling yang biasanya Regina buat pulau saat tidur.

"Jadi, ada apa?"

Jantung Regina bertalu cepat, tiba-tiba ada rasa khawatir kalau saja Dinda merasa jijik dengan kelakuannya tadi malam. Apa Dinda akan memutuskan persahabatan mereka setelah ini?

"Gue mau minta maaf sama lo,"

"Hah? Minta maaf ngapain? Lebaran masih enam bulan lagi."

Regina tertunduk, kedua tangannya bertaut kelisah. "Semalam ... gue bohong ke nyokap, gue bilang ada kerja kelompok di rumah lo, jadi harus nginap,"

Dinda menggaruk kepalanya. "Emang kita ada kerja kelompok ya? Perasaan engga deh,"

Regina menepuk kuat pundak sahabatnya itu. "Ya emang gak ada nyet! Kan, gue lagi bohong sama Mama gue."

"Jadi, lo kemana tadi malam?" Tanya Dinda penasaran.

"Apartemen Kak Harfi."

"Hah? HARFI SEPUPU GUE?" Regina menutup mulut ember Dinda karena suara perempuan itu sangat melengking. Bisa mati dia kalau Mamanya sampai tahu.

"Anjir, jangan teriak-teriak tolol!"

Dinda mengabaikan. "Ngapain lo ke sana? Lo gak anukan ..." ucapan Dinda terputus saat melihat raut lesu dari wajah Regina.

"Anjing, Re!" Dinda melotot sampai menutup mulutnya karena terkejut. "Lo udah gak perawan dong?" Bisik Dinda.

Regina langsung membantah. "Belum sampai sana, dia berhenti. Gue merasa bego banget, bisa-bisanya mau ngasih badan ke dia."

Pusat mata Dinda langsung terfokus pada bercak merah padam di leher Regina, perempuan itu sepertinya sengaja menutupi dengan rambut tadi.

"Re, bangsat ini apaan? Cupang!" Dinda menyibak rambut Regina dan menarik kerah baju kaos itu ke bawah dan terlihatlah lebih banyak tanda yang serupa.

Dia benar-benar kehabisan kata. Menggeleng kepala dengan dramatis. "Lo sakit jiwa, Re!"

Regina menghela nafas. "Iya, kayaknya."

Tiba-tiba saja Dinda bangkit, Regina sudah merasa was-was. "Gue samperin tu bocah, berani-beraninya dia tergoda sama lo!"

Saat akan melangkah, Regina lebih dulu menahan lengan Dinda. "Please, gue mohon jangan, Din. Gue minta tolong banget. Gue bakal lupain kak Harfi, gue janji. Harga diri gue udah hancur banget, gak ada muka lagi gue di depan dia. Please, bantu gue buat gak berhubungan lagi sama dia."

Dinda termangu. Melihat tatapan putus asa sahabatnya itu membuat dia merasa iba dan kesal sekaligus.

"Oke." Ucap Dinda.

***


Ceritanya khusus dewasa ya, yg dibawah umur baca yg lain aja!

Hidden MemoriesWhere stories live. Discover now