23. Bincang tentang kita

3.8K 244 2
                                    

Bulan Juli memang menjadi bulan dimana Bandung menjadi lebih dingin dari biasanya. Oci dan Radhit kini tengah berada di halaman rumah Fatma menikmati dinginnya kota Bandung.

"Gimana kabar kalian? Maaf, nenek kemarin nggak menyambut kalian datang," ujar Fatma yang datang sanbil membawa teh hangat.

"Nggak baik," balas Radhit. "Kenapa nenek nggak bilang kalau bulan lalu nenek operasi?" tanyanya. Ia baru tahu tadi malam jika Fatma akhirnya melakukan operasi dari Rendra.

"Nenek nggak papa, buktinya nenek udah sehat lagi," balas Fatma. "Nenek juga ditemenin sama bundanya Oci kok," lanjutnya.

"Nenek jangan nggak enakan, aku sama Mas Radhit kan tetep cucu nenek," ujar Oci kepada Fatma. Ia tahu Fatma takut merepotkan mereka berdua.

Fatma mengangguk, "Iya, lain kali nenek pasti bilang," ujarnya. "Gimana pernikahan kalian?"

Radhit menoleh ke arah Oci lalu tersenyum, "Alhamdulilah, baik, nek."

"Sudah ada tanda-tanda nenek dapat cicit?"

Radhit kembali tersenyum, "Doain aja, nek."

Fatma mengelus pundak Radhit, "Nggak papa kalau mau pacaran dulu tapi jangan lama-lama."

Oci hanya tersenyum, ia juga tidak tahu harus membalas apa. Anak? Belum ada dalam daftar keinginan Oci saat ini. Meskipun hubungan Oci dan Radhit baik, tetapi belum ada obrolan mengenai momongan. Ia hanya ingin hidup selayaknya air yang mengalir. Entah takdir berkata ia dan Radhit akan memiliki anak atau tidak, semuanya akan ia ikuti.

"Nenek masak dulu, ya, buat kalian sarapan."

"Aku sama Oci rencananya mau cari sarapan di lapangan depan, nek," ujar Radhit kepada Fatma.

Fatma mengangguk, "Ya sudah, kalau kalian mau langsung ke rumah bunda Oci juga nggak papa. Nanti nenek juga ke sana."

"Iya, nek. Kalau gitu aku sama Oci pergi dulu, ya, nek."

Setelah berpamitan, keduanya menuju lapangan yang berada di depan gerbang komplek mereka menggunakan motor matic milik Rendra. Angin bertiup cukup kencang menerpa wajah mereka yang membuat Oci mengeratkan cardigannya sepanjang jalan.

"Dingin, ya?" tanya Radhit ketika melirik spion dan melihat Oci yang semakin mengeratkan cardigannya

"Apa?" Angin yang berhembus membuat suara Radhit terdengar samar. Oci semakin mengeratkan tubuhnya ke arah tubuh Radhit untuk mendengar ucapan Radhit.

"Dingin, ya?" ulang Radhit lebih keras.

Oci mengangguk, "Iya, dingin. Kamu nggak dingin?" 

"Dingin, sih." Radhit kembali melirik ke arah spion dan melihat Oci tersenyum. "Kalau makin dingin peluk aja," lanjutnya.

Radhit terdiam sejenak saat merasakan tangan Oci melingkar di perutnya. Ia yang menyuruh Oci, tetapi mengapa ia sendiri yang salah tingkah. Sebenarnya ia tidak menyangka Oci akan menuruti ucapannya, mengingat istrinya adalah seorang Oceana, wanita tak tersentuh.

Hanya 5 menit hingga mereka sampai di lapangan yang kini disulap menjadi sebuah pasar. Lapangan yang biasanya sepi menjadi lebih ramai karena memang pasar ini hanya buka di hari Sabtu dan Minggu.

"Kamu mau makan apa?" Pertanyaan itu keluar saat Radhit baru saja selesai memarkirkan motornya.

"Bubur ayam."

Radhit mengangguk, "Oke, kita beli bubur ayam."

Oci menghela napas pelan, "Udah banyak berubah, ya. Dulu waktu aku masih kecil pasarnya cuma di pinggir jalan, Sekarang jadi di seluruh lapangan," ujarnya.

Our Traumas [End]Where stories live. Discover now