35. Dikte

26 13 1
                                    

"Paket!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Paket!"

Pintu rumah dibuka lebar oleh Om Dimas, dia langsung mempersilahkan seorang kurir masuk membawa sebuah kardus besar. Aku terperangah menatap kardus itu,  ada tulisan 43 inch di depannya. Mataku memicing menatap wajah laki-laki yang mengaku bernama Dimas Pramudia itu.

Dia hanya tersenyum dan bersemangat mencari gunting untuk membuka kardus itu.

"Buat apa beli TV segala, Om?"

"Bukan katanya, Hana merasa kesepian, ini saya bawakan teman." Dia sangat bersemangat membuka kardus itu dan membuang semua sterofoam dari dalamnya ke arahku. Satu unit Tv pintar beserta stb-nya dia keluarkan dan pasang pada meja kecil yang biasa kami gunakan untuk belajar.

Entah kenapa pula aku jadi ikut-ikutan bersemangat sepertinya, saat televisi itu menyala. Dia mengambil ponselnya dan mulai mengkalibrasinya pada ponsel pintar miliknya.

Dia langsung menarikku ke sofa dan kami pun mulai membuka-buka aplikasi dan fitur yang ada di dalamnya. Aku tak terlalu tertarik pada benda gepeng itu, aku malah lebih tertarik menatap wajah antusias milik laki-laki dewasa ini.

"Minum dulu, Om."

"Makasih, sayang," sahutnya pelan.

Dia memanggilku sayang tanpa menoleh sedikitpun.

"Lihat ini kamu bisa nonton anime dengan layar lebih besar."

"Hm..."

"Kok, lemes banget, sih? Emang gak seneng punya TV?"

"Seneng, kok. Tapi, kalau cuma mau bikin rumah agak ramean dikit, kan kita bisa ngobrol. Atau berantem, gitu, biar seru."

Om Dimas tak tertarik untuk membalas ucapanku. Dia hanya tersenyum kecil, lalu memilih sebuah anime dan duduk nyaman di sofa. Dia tak menghiraukan semua barang yang baru saja dia berantakin sesuka hatinya. Aku memunguti barang-barang itu dan segera menyingkir dari hadapannya. Sudah hampir masuk jam makan siang, sebelum dia mencoba untuk memasak mi instan yang masih tersisa di lemari, sebaiknya aku membuat sesuatu.

Aku memang tidak secakap Gladis saat memasak, tetapi tak begitu jelek juga. Ibu bilang, masakanku itu unik dengan cita rasa yang tidak biasa. Aku akan buktikan, kalau aku bukan sekedar anak kecil yang tidak bisa melakukan sesuatu untuknya.

Barang-barang di dalam lemari pendingin satu demi satu kukeluarkan dari raknya. Ada telur, tahu, sawi dan juga cabai yang tersisa beberapa buah saja. Aku berpikir sebentar sebelum memutuskan membuat sesuatu yang bisa kami makan siang ini.

Sedang asik menyiapkan semuanya, tiba-tiba saja Om Dimas sudah ada di belakangku.

"Mau masak apa, sih, bocil ini? Repot amat, sini biar Om aja yang masak."

Aku yang kaget mundur selangkah dan menempel padanya. Hangat. Tubuhnya hangat, dan membuatku ingin menempel padanya di udara sedingin ini.

"Kenapa gak duduk aja, sayang, biar saya yang masakin buat kamu?" bisiknya pelan tepat di telingaku. Sapuan napasnya membuat bulu kudukku meremang. Jantungku rasanya hampir meledak. Aku maju selangkah, dia malah makin maju dan mengunci diriku. Aku tak bisa bergerak, dia memelukku dari belakang.

Cafe Jasuke Just Okay (Complete Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang