1.

1.5K 59 0
                                    

Pukul 07.00 masih sangat pagi karena tidak ada jadwal misi timnya.  Tapi, terpaksa Boruto harus terbangun karena perutnya yang lapar.
Anak berusia tiga belas tahunan itu menguap lebar, dengan mata yang layu. Ia berjalan gontai keluar kamar. Meski kamarnya berada di lantai dua, tetap saja wangi masakan ibunya tercium menggugah selera. Menuruni beberapa anak tangga, tapi sebelum itu ia masuk ke dalam kamar mandi terlebih dahulu.

"Selamat pagi, Ibu dan Hima..." Boruto menyapa, setelah dirinya dari kamar mandi. Wajahnya terlihat lebih segar.

"Kakak selamat pagi!" Seru gadis kecil riang, yang turut menata piring di meja.

Wanita dengan rambut sebahu menoleh, membawa kudapan hangat siap untuk di santap. "Selamat pagi Boruto, hari ini tidak ada misi?" Seraya menyimpan kudapan berkuah panas itu ke meja. Melepas apron yang dia gunakan dan menggantungnya tak jauh dari lemari makan.

"Tidak ada Bu." Lalu matanya menatap kursi kosong yang biasa ayahnya duduki. "Apa ayah sudah berangkat?"

Hinata sudah bergabung dengan kedua anaknya. "Iya, ayahmu berangkat pagi sekali. Banyak hal yang harus ia selesaikan. "

"Ayah orang yang hebat ya Ma! Dia selalu melindungi desa." Tiba-tiba Himawari menyahut perkataan ibunya. Gadis kecil itu tersenyum kagum dengan pekerjaan ayahnya.

"Untuk apa melindungi desa, sampai keluarganya di abaikan. " Ucap Boruto sebal. Semenjak ayahnya resmi menjadi Hokage, waktu kebersamaannya berkurang. Karena yang ia tahu, Naruto selalu ada untuknya sebelum ayahnya menjadi Hokage. Namun kini, Naruto benar-benar sibuk dan Boruto mengira ayahnya mengabaikan ibu dan adiknya.

Hima masih kecil, seharusnya ayahnya mengerti, jika gadis itu pastilah menginginkan waktu lebih banyak dengan keluarga. Itulah saat ini yang ada di pikiran Boruto.

Gadis itu menampilkan wajah murung setelah mendengar perkataan kakaknya. Satu tangan lembut menyentuh kepalanya. "Ayah tidak mengabaikan kita, dia sangat nenyayangi kita. Jadi jangan mengeluh" Hima menoleh mendapati ibunya tersenyum lembut. "Tugas dan tanggung jawabnya besar, melindungi desa ini agar tetap aman. Karena ayahmu, dan juga teman-temannya berusaha keras menjaga keamanan desa."

Tentu saja Hinata paling tahu bagaimana Naruto. Mimpinya sejak kecil, menjadikan Naruto tumbuh menjadi anak yang tidak pernah pantang menyerah. Suaminya yang memiliki hati bak malaikat, meski sejak kecil ia di benci seluruh warga desa, tapi malah Naruto ingin melindunginya. Serta harapan berkeluarga, tentu sudah terwujudkan dengan Hinata.

"Iya Ma, Hima bangga pada Papa." Hati Hinata semakin menghangat. Ia membelai sayang surai pendek putrinya.  Berbeda dengan putra sulungnya, yang tampak biasa saja.

"Sudah, sekarang mari kita mulai sarapan."

Boruto dan Himawari mengangguk.

"Selamat makan."

Saat acara makan berlangsung, Hinata memandang anak-anaknya yang lahap saat menyantap. Sesekali di selingi candaan dari keduanya. Ia jadi teringat kenangan, dimana Boruto lahir. Naruto dan Hinata sama sekali tak melewati tumbuh kembang putranya itu. Bahagia menyelimuti keluarga kecil ini. Tak sampai disitu, bahkan kehamilan keduanya pun, Naruto juga sama sekali tak melawati hal kecil dengan putrinya.

Rasanya hati kecil Hinata tak ingin mereka tumbuh secepat ini. Seperti baru kemarin ia dan Naruto melewatinya. Kata-kata pertama yang mereka ucapkan, langkah pertamanya, masih memandikannya, memberikan semua limpahan kasih sayang yang tak terhingga. Tapi bagaimanapun, waktu begitu cepat berlalu, semua akan melalui fasenya masing-masing. Ia tak boleh egois, anak-anak akan tumbuh setiap harinya.

"Aku sudah selesai, aku ingin pergi mandi dan bersiap untuk berlatih." Ucapan Boruto memutus kenangan Hinata tentang anak-anaknya.

"Berlatih?" Tanya Hinata di sisa-sisa makannya yang akan habis.

My beloved family [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora