Prologue

344 26 2
                                    

Ruangan dengan cat putih itu memang selau riuh pada waktu-waktu tertentu. Untuk kemudian kembali sunyi dan tenang. Selang beberapa waktu, kita bisa dengar suara teriakan kesakitan, atau suara tangis yang pecah.

Belum lagi kalimat "maaf, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin," diiringi dengan rasa sesal yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu. Tangis pecah menyayat hati.

Pukul 11 malam. Hari hampir berganti. Beberapa petugas sudah berkemas untuk pulang, silih berganti dengan petugas lain yang baru datang mengisi jam kerja mereka.

"Dokter Rose," Panggil gadis dengan rambut sebahu yang sudah siap dengan tas dan jaket ditubuhnya, menghampiri gadis berkuncir kuda di dekat meja resepsionis.

Gadis berkuncir kuda dengan jas putih itu menoleh, tersenyum mengenali gadis yang baru menyapanya. "Eh, Jen, udah mau pulang ya?" Ujarnya sembari menaruh papan dengan kertas yang semula sedang ia isi.

Jeni, gadis yang menyapa Rose, mengangguk semangat. "Iya nih, mau pulang. Jam kerja gue udah abis."

Rose mengangguk. "Hati-hati di jalan, kalo gitu. Bilang sama pacar lo yang sexy konsumsi itu, kalo lo udah cukup jadi perawat di UGD aja, jangan sampai jadi pasien juga." Guraunya.

Jeni tertawa, mengangguk. "Siap. Lo kenal gue kan?" Jeni menggerakkan alisnya, memberi kode.

Rose ikut tertawa. Sikunya menyenggol Jeni. "Dasarr! Udah, gih, malah betah lo disini."

"Are you okay?"

Rose berdecak. "Mulai deh lebaynya. Lagian, ini bukan pertama kalinya gue lembur kali."

"Halah. Bukan pertama kali tapi ngedumel aja kerja lo kalo lembur." Cibir Jeni.

Rose tersenyum lebar. "Emang lo doang deh bestie terbaik gue."

Jeni memutar bola matanya malas. Tangannya melambai kearah Rose, berjalan mundur. "Yaudah deh, cabut ya gue."

Rose mengangguk, ikut melambaikan tangan. "See you tomorrow!"

"Call me anytime you want!"

"I'll do!"

Mata Rose masih lekat menatap punggung sahabatnya yang berjalan semakin jauh, lama kelamaan punggung itu hilang dibalik pintu.

Rose menghela nafas. Kembali meraih papan dengan kertas diatasnya. Menuliskan sesuatu. Ia kembali merasa sendirian, dengan kertas, alat-alat medis dan pasien. Rasa sepi itu selalu datang tepat disaat yang Rose tak pernah inginkan.

Hingga tiba-tiba sebuah nama terselip kembali pada memori ingatan Rose. Nama yang ia sangat hindari, nama yang sudah coba ia lupakan, nama yang ternyata tidak pernah bisa Rose hindari.

"Damn. I think i need some coffee." Rose bernafas sedikit lebih cepat, kepalanya terasa pening. Segera papan itu ia letakan kembali diatas meja resepsionis, lalu melangkah keluar.

Namun naas, nampaknya memang Rose belum bisa minum kopi sekarang.

Dari arah pintu emergensi, sebuah sirine berbunyi memekakkan telinga. Pintu terbuka, menampakkan beberapa laki-laki dengan seragam oranye khas petugas ambulan tengah mendorong strecher dari dalam mobil, memasukin ruangan UGD.

"Dokter! Ada pasien percobaan bunuh diri! Nadinya hampir putus, hampir kehilangan banyak darah. Pertolongan pertama sudah dilakukan. Kondisi vital terus menurun." Ujar salah seorang diantaranya.

Rose mengangguk, mengambil posisi.

"Pindahkan ke bed. Kei, cepat ambil sampel darah pasien. Galih, cek alat vital. Hubungi pihak keluarga, kita harus cepat melakukan bedah."

Ketika Rose berdiri persis di samping pasien yang baru saja dipindahkan keatas tempat tidur pasien, matanya terbelalak, sontak menutup mulut.

"MBAK WINTA?!!!"

Rose refleks memutar pandangan menuju pintu emergensi yang masih terbuka. Matanya berhasil menangkap lelaki yang langsung berlari menjauhi pintu. Lelaki yang selama ini menghantui hidupnya, lelaki yang tidak pernah ia sangka akan kembali.

Apakah ini sebuah awal untuk Rose? Atau justru ini adalah akhir dari semuanya?



















Chummybabyy proudly present:

Chummybabyy proudly present:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Coming soon...













LantasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang