Bab 17: Tolong Kami

47 8 0
                                    

"Kukira aku hanya flu biasa, Mir. Kamu sendiri tahu, kemarin aku bolak-balik minum es. Kecapekan juga." 

"Jangan menyederhanakan masalah. Awalnya Om Wisnu juga disangka kena asam lambung, ternyata keracunan."  Miranti terus berujar panik. Ia melupakan tujuan utamanya menelepon Kalila.

Sebenarnya, Miranti menelepon Kalila karena ingin menanyakan nomor ponsel Andromeda. Polisi itu sudah membuat ulah dan Miranti harus menghubunginya. Namun, keadaan Kalila melupakannya dari Andromeda.

"Gejalanya beda dengan Papa."

"Arsenik juga bisa mengakibatkan sakit kepala hebat, La. Nggak harus muntah-muntah atau kram otot. Daripada terlambat, lebih baik periksa, deh." 

Miranti berubah jadi pakar racun dadakan. Padahal sebelumnya, ia mahasiswa Fisipol yang tidak pernah berpikir tentang senyawa kimia. Kasus Wisnu mendorongnya belajar hal baru, lebih tepatnya rajin baca berbagai informasi seputar senyawa kimia beracun. 

Terakhir, Miranti nekat membaca buku Toksikologi dan Gangguan Metabolisme Tubuh Manusia yang membuat kepalanya berasap dan terpaksa ia kembalikan ke perpustakaan jurusan Kimia sebelum jadwal peminjaman berakhir. 

"Iya, deh, Mir." Kalila mulai ikut panik. Bagaimana kalau sebentar lagi dia mati? Dia mencoba mengingat, siapa yang mengantarnya makanan kemarin. 

Atas perintah Andromeda, dia hanya makan dari pemberian salah satu polisi. Masa iya, dia diracun polisi. Atau jangan-jangan, penjahat itu berpura-pura jadi polisi?Kepala Kalila semakin berat memikirkan semua itu. 

"Tunggu aku, La. Kamu bisa siap-siap dulu. Jadi begitu aku sampai, kita langsung cabut." 

"He em." 

Setelah Miranti menutup telepon, Kalila segera bersiap. Dikalahkannya dingin air yang membuatnya menggigil. Ia mandi dengan cepat kemudian berganti pakaian. 

Kalila sedang menyapukan bedak saat pintu terbuka dan Farhan memasuki kamar.

Refleks Kalila berdiri dan menyambar jilbab yang tergeletak di kasur. "Bikin kaget saja, Bang." Kalila bersungut-sungut lalu kembali duduk menghadap cermin. Jantungnya serasa mau salto melihat Farhan tiba-tiba muncul. 

"Mau pergi?" 

"Mau ke rumah sakit." Kalila menghadapkan tubuh pada Farhan yang duduk di tepi kasur. "Diantar Miranti, kok, Bang." Buru-buru Kalila menambahkan saat melihat raut muka Farhan berubah. 

"Kenapa tadi nggak bilang kalau mau periksa? Daripada ngerepotin Miranti, mending aku yang antar."

"Bang Farhan harus kerja." 

"Aku masih cuti, Lila. Libur sampai dua hari ke depan. Seingatku, aku sudah bilang ke kamu." Ada nada kecewa dalam suara Farhan. Wajahnya pun sedikit kaku dan bola mata hitam miliknya menatap tajam Kalila.

"Maaf, Bang, saya lupa." 

Kalila membuang pandang ke jendela kaca yang tertutup tirai cukup tebal. Entah mengapa, Kalila masih belum menyediakan ruang di kepalanya untuk Farhan. Ia masih enggan mengingat apa pun yang berkaitan dengan Farhan. Kalila masih merasa Farhan seperti makhluk dari dunia lain yang tiba-tiba memasuki semesta hidupnya.  

"Ya, sudah, telepon Miranti sekarang. Bilang kalau aku yang antar kamu." 

Kalila mengangguk. Diambilnya ponsel di atas meja rias dan mulai menghubungi Miranti. Sebenarnya ia tidak enak pada Miranti, tetapi juga takut pada Farhan. 

Berkali-kali Kalila memanggil dan tidak sekali pun Miranti menjawab. "Kayaknya Miranti sudah jalan, Bang." 

"Kalau gitu, biar nanti dia sarapan terus pulang." Suara Farhan melunak. "Dia pasti capek kemarin seharian ngurus Prof. Wisnu." Farhan berdiri lalu keluar kamar. 

Asmaradhana (Dijodohkan dengan Teman Papa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang