Part 8

1K 140 14
                                    

Sakura tahu kalau Sarada tengah merajuk padanya, dikarenakan dirinya yang terlambat menjemput kemarin hari. Hal itu terbukti dari gadis kecil tersebut yang hanya diam saat ditanya.

Seperti biasa, wanita musim semi itu akan mengantar Sarada ke tempat penitipan. Dia mencium dan melambaikan tangan saat gadis kecilnya masuk ke dalam, Sakura menghela napas kemudian berjalan menuju tempat kerjanya.

Hari ini Sakura akan bekerja setengah hari, dia berniat untuk meminta izin cuti karena Sakura ingin menghabiskan banyak waktu dengan Sarada, sekaligus membujuk anaknya itu.

Melakukan pekerjaan dengan baik, saat matahari sudah naik tepat di atas kepala, bergegas Sakura mengganti baju dan berjalan menuju tempat penitipan. Dia melangkah dengan riang, membayangkan wajah terkejut Sarada saat ia menjemput lebih awal.

Tersenyum sendiri dan melangkah lebih cepat. Akan tetapi tubuhnya terhenti saat melihat pemandangan di depannya, seorang laki-laki yang turun dari mobil berjalan memasuki tempat penitipan. Sakura meneguk ludahnya kasar.

Tak lama kemudian laki-laki itu kembali keluar, menggandeng tangan bocah yang berambut senada dengannya, Sakura membulatkan mata. Dia terhenyak dan tak bisa melakukan apa-apa, tubuhnya mendadak kaku dan tidak bisa bergerak sedikitpun.

"Hati-hati Daichi."

"Maaf Papa, Daichi akan lebih hati-hati." Anak kecil itu meringis dan segera berdiri, dia tersenyum saat sang papa menggendong tubuhnya.

"Sasuke-kun," lirihnya. Sakura pikir dia tidak akan bertemu sosok itu lagi setelah malam itu, tapi siapa sangka jika mereka bertemu kembali di tempat yang tidak terduga.

Jantung Sakura berdetak lebih cepat, dan rasa sakit akan sesuatu hinggap di dada, dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, dan tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya.

Wanita itu senantiasa menatap pemandangan di depannya, melihat bagaimana Sasuke yang membuka pintu mobil, dia memastikan bocah tadi duduk dengan tenang kemudian berjalan ke sisi lainnya. Mobil itu bergerak pergi, meninggalkan Sakura yang masih terdiam di tempat berdiri.

Dadanya benar-benar sesak, hatinya terasa sakit saat isi kepalanya meneriakkan suatu kemungkinan kalau Sasuke sudah bahagia, menikah dengan gadis yang ia cintai dan sekarang dia sudah memiliki anak yang begitu tampan.

Sakura menundukkan kepala, dia meremas ujung baju yang dipakai. Mati-matian menahan isak tangisnya yang membludak ingin keluar, menyedihkan memang, karena sampai kapanpun Sakura tidak akan mampu, dia tidak akan bisa memiliki Sasuke di hidupnya.

Cukup lama terdiam dalam posisinya, lantas Sakura tersentak saat mengingat sesuatu. Perkataan Tenten mengenai Papa Daichi hari itu, dan tidak salah lagi kalau tadi Sakura mendengar Sasuke menyebut nama Daichi. Pikiran buruk menyerang, Sakura mulai takut.

Dia menghapus air mata dengan kasar kemudian berlari memasuki tempat penitipan anak. Berdoa di dalam hati agar Sarada baik-baik saja. Namun, seolah terlempar dari tempat dataran yang tinggi. Sakura menghentikan langkah, di depan sana dia melihat sosok Sarada yang menangis di ambang pintu.

Bahunya tampak gemetar, kemudian tubuh kecil itu luruh. Dia berjongkok dan menutup wajah menggunakan kedua tangan, Sakura terdiam melihatnya, pemandangan yang begitu menyakitkan mata serta perasaannya. Air mata jatuh kembali, dengan langkah pelan Sakura menghampiri Sarada dan memeluk tubuh kecil itu.

"Salad!"

"M-mama?" Sarada menatap wajah mamanya kaget, dia menoleh saat mendengar suara tangisan Sakura ditelinga, "Mama menangic? Kenapa Mama menangic? Salad nakal ya ma?"

Sakura menggelengkan kepala, dia melepaskan pelukan mereka, menghapus air mata Sarada kemudian menggenggam tangan kecil gadis itu dengan mata berkaca-kaca serta bibir bergetar menahan tangis.

Wanita musim semi itu bangkit membawa Sarada dalam gendongan, berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Tenten, setelahnya Sakura berjalan menjauh. Meninggalkan Tenten yang bingung dengan kondisi mereka berdua.

Wanita berambut merah muda itu membawa Sarada ke taman yang tidak ramai, dia mendudukkan diri di salah satu kursi kemudian mempererat pelukannya pada Sarada.

"Kenapa Salad tidak cerita pada Mama kalau Papa Daichi itu Papa yang Mama tunjukkan fotonya pada Salad?"

Sarada hanya diam, dia menggesekkan hidung dan menyembunyikan wajahnya di dada sang Mama.

"Kenapa Salad menyimpan nya sendiri, kenapa tidak bercerita pada Mama kalau setiap hari Salad melihat Papa dengan orang lain? Rasanya Mama jadi orang paling jahat karena membiarkan Sarada menangis dan menyimpan semuanya sendiri."

"Tidak! mama tidak jahat, Calad tidak mau mama cedih kalna papa bukan papa Calad lagi. Mama ... papa tidak akan pulang tuk temani kita."

Sakura melepaskan pelukannya, dia terisak dan menatap wajah sang anak penuh iba, "Mama tak apa, tapi bagaimana dengan Salad? Salad pasti merasa lebih sedih bukan?"

Sarada meremas baju yang dipakai oleh Sakura, dia menunduk dan mengangguk kemudian. Kembali menyandarkan kepala di dada Sakura, tangisan gadis kecil itu pecah seketika, air mata jatuh berlomba-lomba disertai isakan tangis nan menyayat hati.

"Mama ... Calad cangat cedih, kalna Calad tidak punya Papa lagi. Papa itu cudah jadi Papa kak Daichi, Calad tidak punya papa, Mama. Calad tidak punya papa ...."

Wanita musim semi itu menepuk punggung Sarada, hatinya sangat sakit mendengar tangisan sekaligus ucapan polos yang keluar dari mulut sang anak. Sakura membenarkan dalam hati, karena saat ini Sasuke memang bukan milik mereka, laki-laki itu sudah hidup bahagia.

Di siang hari yang tiba-tiba tampak mendung, seolah menggambarkan suasana hati ibu dan anak itu, lagi-lagi mereka menangis, menangisi sosok yang masih sama, yakni Uchiha Sasuke.







*****

bersambung.

He's AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang