Chapter 2

143 13 0
                                    


'When do I know if I really love her?'

The old man smiled, 'When it's no longer a question.'

Atticus, 140.

.

Aku masih berdiam diri di tempatku sembari menatap Rose yang melangkahkan kakinya dengan tergesa untuk pergi dari hadapanku. Panasnya wiski api tak juga menenangkan hatiku yang kini tak lagi utuh. Aku terluka melihat gadisku terluka. Tentu saja aku tidak bermaksud untuk berkata sekasar itu. Aku hanya frustasi karena Rose sepertinya tak ingin menikah denganku secepat itu.

Rose Weasley adalah gadis pertama yang kusukai sejak tahun ketiga. Rambut ikal merahnya yang berkilau ketika ia berjalan atau berlari seringkali menarik perhatianku. Albus nyaris berteriak terganggu ke arahku setiap kali aku bertanya tentang Rose. Di kelas, Rose akan selalu mengangkat tangannya untuk menjawab apapun pertanyaan Professor.

The brightest witch in her age, just like her mother.

Aku tak pernah merasa terancam olehnya, aku tidak idiot seperti kebanyakan sepupu Weasley atau Potternya sehingga menempatkanku di peringkat kedua nyaris pada semua mata pelajaran, kecuali terbang tentu saja. Entah kenapa gadis itu tidak bisa mengendarai sapu terbang.

Namun aku tak pernah seambisius itu. Aku beruntung bahwa Father tak pernah menuntutku apapun, berbeda dengan Grandfather yang dahulu sering menuntut Father.

Aku berdisparasi dan muncul di serambi depan manor. Aku memasuki pintu depan dan menemukan Mother dan Grandmother Cissy sedang berbincang sambil meminum teh di depan perapian. Cuaca dingin tak pernah menghalangi mereka untuk tampil maksimal, gaun yang mereka kenakan selalu mewah dan elegan. Tidak ada keluarga Malfoy yang berpenampilan buruk dan berantakan—sebuah doktrin yang mengakar pada diriku.

"Selamat sore Mother, Grandmother." Aku melangkahkan kakiku mendekati mereka, mencium pipi Mother dan Grandmother.

Mereka menyesap chamomile tea dengan anggun dan menawariku untuk duduk berbincang bersama mereka. Aku menerima cangkir yang ditawarkan dengan sopan dan mulai duduk disamping Mother.

"Scorp, bagaimana pekerjaanmu? Kau akan ke Amerika?" Grandmother mengaduk tehnya pelan sambil melirik ke arahku.

"Ya, Grandmother. Mungkin tiga bulan lagi." Sahutku datar. Aku membayangkan empuk kasurku dan hangatnya kamarku, pertengkaran dengan Rose selalu berakhir buruk untukku.

"Bagaimana dengan Celine?" Aku memutar mataku bosan. Mother selalu mengenalkanku dengan berbagai perempuan berdarah murni dengan wajah cantik dan kulit bak porselen serta perangai lemah lembut persis seorang putri raja, anggun tak bercela.

Namun aku tak pernah sekalipun tertarik kepada mereka. Aku hanya tertarik pada satu orang dan aku tak menginginkan perempuan lain selain dirinya.

Bukan keluarga Malfoy jika tidak keras kepala, Mother memaksakan keinginannya padaku. Sementara Father memilih untuk diam tak berkomentar, namun terkadang aku merasa melihat pandangannya seolah mengawang dan mengenang jauh.

"Mother, sudah kukatakan aku tidak tertarik,"

Mother adalah perempuan tercantik bagiku, wajahnya halus dan feminim, ia memiliki rambut lurus berwarna coklat lembut. Perangainya tanpa cela, seorang darah murni yang dijodohkan kepada Father. Beruntung pernikahan mereka bertahan lama, meskipun entah kenapa mereka hanya memilikiku.

"Oh diamlah Scorp, kau akan menjadi pasangannya ketika pesta dansa natal. Kau tak bisa menolaknya," Ucapnya tegas dan tak ingin dibantah.

Aku mengerang kesal ke arahnya dan hanya dibalas dengan putaran mata oleh Mother. Sementara Grandmother hanya tertawa geli dengan tingkah kami.

"Apakah ini Celine Macmillan yang kita bicarakan?"

Mother menatap Grandmother dengan antusias, "Ya Mother, salah satu darah murni dari Sacred 28. Tentu sangat cocok apabila disandingkan dengan Malfoy. Celine juga cantik dan anggun. Dia cukup sepadan dengan Scorpius."

"Bukankah status darah sudah dihapuskan? Atau apakah ada peraturan baru yang tidak aku tahu?" Ucapku ketus yang mendapatkan lirikan tajam dari Grandmother karena aku tidak sopan kepada Ibuku.

Sementara Mother hanya menipiskan bibirnya menahan kesal, "Jika kau menginginkan gadis Weasley itu, jawabannya adalah tidak Scorp. Sudah kubilang jangan mendekatinya,"

Jujur aku tak ingin membahas ini, aku hanya membalas perkataan Mother dengan gumaman dan segera pamit untuk pergi menuju kamarku.

Inilah alasanku ingin segera menikah dengan Rose. Kami memang masih muda, tapi aku tidak ingin orang tuaku segera melakukan pertunangan—kemungkinan besar tanpa persetujuanku. Seperti tradisi darah murni lainnya.

Aku menghela napas lelah. Pesta itu akan dilaksanakan tiga hari dari sekarang. Apakah Rose akan datang? Biasanya ia akan menghindari pesta-pesta semacam itu. Aku menimbang untuk mengirim surat padanya atau tidak, namun aku masih marah kepadanya sehingga aku mengurungkan niatku untuk menuliskan surat.

Aku melewati ruang kerja Father yang sedikit terbuka dan melongokkan kepalaku ke dalam sela pintu. Menemukan Father yang sedang membaca sesuatu di sofa samping jendela.

Pemandangan Whiltshire dengan latar bebukitan berwarna putih dan halaman Malfoy Manor yang seolah tiada ujung—biasanya halaman itu akan dipenuhi bunga-bunga cantik milik Grandmother, namun kini hanya hamparan permadani putih yang menghiasinya sejauh mata memandang.

Tok tok, "Father"

Father mengalihkan pandangannya dari buku tebal yang ada di tangannya dan menoleh ke arahku, "Scorp, masuk."

Aku masuk dan bersandar pada meja kerjanya yang besar, ia menaikkan salah satu alisnya, bertanya.

"Apa yang membawamu kesini? Bagaimana pekerjaan?"

"Aku hanya mampir, cukup baik. Aku akan pindah ke Amerika tiga bulan lagi" Jawabku datar.

Father hanya menganggukkan kepalanya dan kembali membaca bukunya.

Welcome to the our boring family.

Aku sudah akan meninggalkan ruangan itu ketika mataku bersirobok dengan cincin yang digunakan Father di salah satu jari pada tangan kirinya. Cincin platina dengan aksen hijau sederhana sebagai hiasannya. Itu bukan cincin pernikahannya dengan Mother, cincin pernikahan mereka ada di jari kanannya.

Aku sedikit terkejut dan melangkah mendekati Father, ia melihatku dengan bingung dan mengikuti arah pandang mataku.

"Dad, ini—"

Ada kilasan terkejut di matanya, hanya sepersekian detik namun aku menangkap sedikit kilatan itu. Ia telah memasang topeng dingin dan datarnya dengan sempurna. Sedikit hal yang ia wariskan kepadaku tentunya, selain fisik kami yang hampir identik.

"Ada apa?" Ia bertanya menyelidik. Aku segera mengatasi keterjutanku dan menggelengkan kepalaku.

"Tidak apa-apa, aku pamit sekarang"

"Baiklah, hati-hati,"

Aku hanya mengangguk kaku dan meninggalkan ruang kerja itu tanpa suara. Bayangan cincin itu berkelebat di mataku. Sebuah cincin yang merupakan pasangan dari gelang yang kuberikan pada Rose sore itu.

.

.

.

To be continued.

Destiny (Dramione & Scorose Fanfiction)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt