25. Kedua kegagalan

3.8K 226 1
                                    

Suara adzan subuh berhasil membangunkan Oci dari tidurnya. Ia bersandar di ranjang untuk mengumpulkan jiwanya. Matanya cukup berat, mungkin karena tangisnya semalam. Ia melirik ke arah Radhit yang masih memejamkan mata. Pikirannya melayang mengingat kejadian tadi malam. Mereka gagal. Tidak ada yang terjadi di antara mereka karena pada kenyataannya Oci belum begitu berani untuk disentuh oleh Radhit. Hal tersebut membuat Radhit mau tidak mau menuntaskan nafsunya di kamar mandi. Entah sudah berapa maaf yang Oci ucapkan seraya menangis dan Radhit hanya memeluk dan mengusap punggungnya.

Oci menghela napas pelan, rasa bersalahnya masih hinggap. Ia kembali memejamkan mata, ingin menangis rasanya. Batinnya menyalahkan keadaan yang membuatnya seperti ini.

"Jam berapa?" Suara parau Radhit terdengar. "Udah subuh?" tanyanya lagi saat tidak ada jawaban dari Oci.

"Udah."

Radhit bangun dan duduk bersandar di ranjang, sama seperti yang Oci lakukan. Beberapa menit kemudian ia memutuskan untuk ke kamar mandi dan keluar dengan wajah yang sudah basah. Sepertinya ia habis berwudhu.

"Aku ke masjid dulu." Oci hanya mengangguk dengan mata yang mengarah ke jendela. Malu dan sedih, ia tidak bisa menatap Radhit setelah kegagalan mereka semalam.

Radhit pun juga menyadari perbedaan Oci dan ia langsung alasan Oci seperti itu. Mungkin ia akan berbicara dengan Oci setelah sholat subuh. Ia ingin Oci tidak begitu merasa bersalah.

Sepeninggalan Radhit, Oci juga memutuskan untuk sholat subuh dan memasak sarapan untuk mereka berdua.

***

Oci berdiri di depan mesin kopi sendirian. Sejak tadi pagi ia terus gelisah. Apalagi saat Radhit terburu-buru berangkat ke kantor tanpa memakan sarapannya. Ia merasa kecewa hanya karena hal itu, ditambah kejadian sebelumnya yang masih membuat Oci merasa bersalah.

"Ngelamunin apa, sih, Ci?" suara Jessica terdengar ketika wanita itu memasuki area pantry. "Cowok, ya? Cowok mana, nih, yang lo galauin."

Oci tahu Jessica hanya bercanda, tetapi perkataan Jessica membuat dirinya menegang karena wanita itu benar, ia sedang memikirkan seorang laki-laki.

"Serius lagi mikirin cowok?" Melihat raut wajah Oci yang berubah, Jessica bisa tahu betul bahwa ucapannya tidak meleset.

"Enggak, mbak, pusing aja penerbitan bulan ini belum nyampe target," bantah Oci.

Jessica menatap curiga ke arah Oci lalu mengangguk, "Mau gue bantu cariin penulis?"

Oci menggeleng, "Nggak usah, mbak, nggak papa."

Tidak ada perbincangan setelahnya, mereka sama-sama menikmati kopi. Ini yang Oci suka dari Jessica, meskipun Jessica terkesan cerewet, tetapi ia paham waktu-waktu dimana Oci tidak ingin bicara atau ngobrol seperti saat ini.

Keduanya sama-sama menoleh saat mendengar suara langkah kaki menuju pantry. Selain langkah kaki, mereka juga bisa mendengar ocehan dari pemilik derap langkah tersebut.

"Ngapain kalian berdua di sini? Arisan?" tanya Narendra yang datang.

"Ya, ngopi lah." Jessica memandang sinis ke arah Narendra.

"Santai dong." Narendra tidak kalah ketus saat menjawab.

Namun, helaan napas Narendra yang berkali-kali dilontarkan membuat Jessica menatap aneh ke arah Narendra.

"Lo kenapa, sih?" Meskipun keduanya sering bertengkar, tetapi Jessica sudah menganggap Narendra lebih dari sekedar teman kerja. Salah satunya karena mereka yang memang masuk ke perusahaan di waktu yang bersamaan dan kini sama-sama menjabat sebagai senior editor.

Our Traumas [End]Where stories live. Discover now