28. Resmi Pengangguran?

54 7 8
                                    

Dengan satu tarikan napas, Kalla membuka pintu mobilnya. Dia melangkah keluar, sebelum pada akhirnya menutup kembali pintu mobil. Cukup lama ia memandang gedung di depannya. Perasaannya berkecamuk, sudah sangat lama dia bekerja di perusahaan ini.

Seorang satpam berjalan mendekati Kalla, "Pak Sandy, dari mana saja Pak? Perasaan, saya baru melihat Bapak setelah dua hari menghilang."

Kalla tersenyum tipis, "Ada urusan keluarga, Pak."

"Oh begitu, kirain Bapak lagi sakit makanya nggak masuk kerja."

Lagi, Kalla tersenyum. "Alhamdulillah saya sehat, Pak. Kalau begitu, saya masuk dulu ya."

"Yaa, Pak. Nggih  ... "

Baru saja Kalla masuk ke dalam, banyak sekali kata sambutan dari setiap karyawan-karyawati perusahaan ini. Kalla tersenyum menanggapi, sembari membawa kakinya semakin dekat ke ruangan Wijaya.

Tiga kali ketukan pada pintu, Kalla di persilahkan masuk dari dalam. Kalla melangkah ke hadapan Wijaya yang tengah sibuk. Akhir-akhir ini, urusannya dua kali lebih banyak akibat Kalla tak masuk bekerja.

"Permisi, Pak."

Begitu mendengar suara Kalla, Wijaya segera mendongak. Matanya melebar sempurna. Ternyata mimpinya benar semalam. Semalam, Wijaya bermimpi bertemu Kalla di kantor.

Senyum Wijaya segera terbit. Di persilahkannya laki-laki itu duduk. "Sandy. Saya tau kamu pasti datang dan kembali masuk kerja. Memangnya kamu mau kerja di mana lagi?" Terdengar sangat menjengkelkan bagi Kalla.

Kalla duduk tepat di hadapan bosnya itu, sembari tersenyum. Ada sebuah meja persegi panjang yang terbuat dari kayu jati, di ukir dengan sangat antik. Di atasnya di lapisi kaca tebal, terlihat sekali jika meja ini sangat mahal.

Meja persegi itu sebagai pembatas antara Kalla dan Wijaya. Kalla menarik napasnya sekali lagi, "Selamat pagi Pak. Tapi maksud dan tujuan saya datang kemari untuk memberikan ini."

Sebuah amplop terletak di atas meja. Wijaya menatap amplop itu dengan tatapan sengit. Di ambilnya buru-buru, kemudian segera menarik kertas dari dalam.

Surat resign.

Perlahan Wijaya membaca surat tersebut. Saat dia tau apa maksud dan tujuan surat tersebut, dia segera melemparkan amplop itu kembali ke atas meja.

"Saya tidak setuju!" seru Wijaya berapi-api. Oh tidak, bagaimana bisa asisten terbaiknya mengundurkan diri? Yang benar saja?!

"Tapi bapak tidak punya hak untuk nahan saya di sini." Kalla tetap pada pendiriannya.

"Oke, terserah. Saya tidak akan kasih sepeser pun pesangon," ujar Wijaya. Harap-harap Kalla mengurungkan niatnya.

Sepertinya dugaan Wijaya salah. Sekarang, Kalla malah tertawa kecil. "Tidak masalah Pak. Bapak hanya perlu tanda tangan surat resign ini."

Kepala Wijaya semakin panas. Dia meremas surat resign tersebut, "Kamu pikir kamu bakal dapat pekerjaan lain? Tidak semudah itu."

"Mengenai pekerjaan saya apa nantinya, bukan urusan Bapak kan?" Kalla menatap Wijaya dengan senyum yang masih terukir.

"Kamu ini--"

"Pak, silahkan tanda tangan. Buat apa Bapak masih memperpanjang waktu? Saya sudah bukan pekerja di perusahaan Bapak."

Dengan napas terengah-engah, Wijaya meraih pulpen dari dalam sakunya——melepaskan tutup pulpennya, dan segera  membubuhkan tanda tangan di surat tersebut.

Kalla menerima surat tersebut, kemudian segera bangkit. "Terimakasih Pak. Selamat pagi dan, permisi." Setelah dia mengucapkan hal tersebut, segera dia melangkah pergi. Tak lupa juga ia menutup pintu dengan pelan. Pada akhirnya dia resmi berhenti bekerja dari perusahaan ini.

ArunKalla The Best SkenarioWhere stories live. Discover now