02. WASPADA

3 1 0
                                    

Hujan, petir, kilat dan angin kencang, membuat Khinan memutuskan untuk menepi. Ia tidak mau terjadi sesuatu pada dirinya. Ia tahu kapasitas diri.
Perempuan itu sudah mengabari pada klien tentang hal itu dan beliau memakluminya.
Langkah perempuan itu tergesa-gesa. Khinan tidak membenci hujan. Karena hujan mengingatkannya akan ketenangan, tetapi Khinan membenci temannya hujan, seperti kilat dan petir. Walaupun Khinan tahu mereka satu geng, satu paket. Tapi tidak harus selalu bersama kan?
Jadi, daripada memilih untuk melanjutkan perjalanan dan terjadi sesuatu pada dirinya yang mungkin juga merugikan orang lain. Khinan memilih untuk menginap di hotel terdekat.
Langkah Khinan terburu-buru menuju meja Reception agar dirinya bisa segera check in dan meringkuk di dalam kamar sepanjang malam.
Dari tempatnya ia melihat seorang lelaki yang berjalan mundur pelahan dan tanpa diduga atau salah perhitungan, tiba-tiba tubuh lelaki itu menabraknya dengan refleks Khinan mengangkat kedua tanganya, upaya menahan bahu lebar lelaki itu.
Keras dan menyakitkan itulah yang pergelangan tangan Khinan rasakan.
"Maaf," seru lelaki itu cepat, lalu berbalik ke belakang. Belum sempat Khinan terkejut dengan suara yang terdengar familir, matanya sudah dikejutkan dengan wajah lelaki itu. Terkejut dan membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
"Khinan."
Khinan sama sekali tidak menyangka bisa bertemu dengan lelaki itu di sini, di tempat ini. Tempat yang jaraknya berkilo-kilo meter dari tempat mereka terakhir kali bertemu.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Khinan ketus dan juga curiga. Perempuan itu ingin menyeruakan pikirannya, tetapi dengan segera ia tepis, dirinya tidak ingin terlihat seperti diinginkan, walaupun mata lelaki itu jelas-jelas menunjukannya.
"Emmmm aku..." Rama tampak berpikir. Ia harus berpikir keras. Di hotel ini hanya tersisa satu kamar, yang artinya akan jadi miliknya jika ia ambil atau akan jadi milik Khinan jika perempuan itu yang mengambilnya.
"Sebentar," seru Khinan menginterupsi yang rasanya Rama akan menjawab pertanyaannya, tetapi ia perlu mengkonfir sesuatu.
Rama setuju, bahkan lelaki itu memberi jalan pada Khinan yang ingin melewatinya dengan menyingkir.
"Mbak, apa masih ada kamar?"
Pertanyaan itu seketika membuat mata Rama membulat. Ia harus segera membuat keputusan.
Wanita bernama Wulan itu hendak membuka mulut setelah menyunggingkan senyum ramah pada tamunya, tetapi seketika mengalihkan perhatianya pada Rama, saat lelaki itu tiba-tiba saja berdiri tepat di samping Khinan.
"Mbak, kamarnya saya ambil," seru Rama cepat, sambil mengulurkan kartu pamungkas miliknya, seolah dirinya sedang berlomba dengan Khinan. Tapi memang itu kenyatannya.
Khinan dengan sorot mata binggung dan penuh tanya. Yakin ada sesuatu yang terjadi.
"Bagiamana Mbak?" tanya Khinan yang ingin pertanyaannya segera dijawab.
Wulan tampak bingung, tetapi ia tahu prosedurnya.
"Maaf Mbak, kamar sudah full booking." Wulan menjawab dengan senyum ramah dan tidak enak.
Mata Khinan membulat tidak percaya.
"Presidential suite juga enggak ada?" tantang Khinan yang sebenarnya tidak ingin bermaksud demikian, tapi tampaknya ia harus menggunakan hak istimewanya. Akomodasi dan transportasi akan ditanggung klien, yang artinya biaya hotel akan diganti oleh klien berapa pun harganya.
"Maaf, untuk kamar itupun sudah full dan terakhir sudah dibooking oleh Bapak Rama." Wulan melihat nama yang tertulis di kartu itu.
Mata Khinan membulat, lalu menoleh pada Rama, tidak percaya, bagaimana bisa? Mereka belum melakukan trasaksi, tetapi sudah deal.
"Saya akan bayar berapa pun harganya." Cepat-cepat Khinan mengeluarkan kartu pamungkasnya.
"Maaf Khinan, kartu aku udah dipegang sama Mbak-nya, otomatis pihak hotel sudah mengambil uangku," seru Rama diplomatis.
Wulan di balik meja bergetar.
Khinan malas berdebat, lagipula dirinya juga malas satu atap dengan lelaki itu.
"Oke, kalau begitu aku pergi cari hotel yang lain saja." Khinan memutuskan walau dongkol dan kesal.
Ada rasa kecewa di dada Rama, tapi ia mencoba untuk terima.
"Mbak, bisa rekomendasiin hotel terdekat dari sini?" tanya Khinan pada Wulan.
Sementara Khinan dan Wulan berbincang, Rama mendapatkan satu ide.
"Khi, bagaimana kalau kita menginap satu kamar malam ini?" seru Rama menghentikan obrolan antara Wulan dan Khinan.
Kedua perempuan itu sontak menoleh pada lelaki dengan lesung pipi yang benar-benar menambah daya tarinya, apalagi saat ini, saat ia menawarkan 'kebaikannya'
"Hah?" Khinan benar-benar tidak percaya.
"Itu opsi yang paling benar. Aku yakin kamar itu luas dan ada banyak sudut yang bisa kita gunakan agar tidak berada di jarak 'bahaya'." Rama benar-benar menawarkan kebaikan dengan tulus, tanpa ada niat jahat dibalik tawarannya.
Mata Khinan membelalak, tatapannya bergantian melirik Rama dan Wulan. Wulan yanga tersenyum maklum.
"Aku enggak akan ngapa-ngapain kamu. Percaya aku." Rama kembali meyakinkan.
Kata-kata Rama benar-benar membuat Khinan mendendang lelaki itu ke tengah hujan.
"Enggak. Terima kasih," tolak Khinan tagas.
Khinan menolak tawaran Rama mentah-mentah. Lalu mengucapkan terima kasih pada Wulan atas informasinya, kemudian perempuan itu memutar tubuhnya pergi meninggalkan Rama dan meja Wulan.
"Hotel yang direkomendasiin jauh loh dari sini. Dan belum tentu di sana ada kamar yang kosong. Seperti yang terjadi di hotel ini, kemungkinan yang sama juga ada di hotel-hotel yang lainnya." Rama mengingatkan kemungkinan yang terjadi.

Mantan KekasihWhere stories live. Discover now