03. MENGULANG MASA LALU

3 0 0
                                    

“Satu macem aja. Aku mau kamu!”
Kemudian Rama menarik diri. Perempuan di depannya sudah terlalu condong ke belakang, takut Khinan akan terjatuh karena menghindari dirinya.
Mata Khinan mengerjap, lalu dengan cepat perempuan itu menegakkan tubuhnya dengan jantung yang masih bertalu.
“Kamu mau mandi dulu atau aku?” tanya Rama sambil membalikkan tubuhnya dan memunggungi Khinan.
Khinan menelan salivanya dengan susah payah dengan mata terus menatap punggu lebar nan kokoh lelaki itu.
“Kamu duluan sana!” perintah Khinan dengan tenggorokan tersekat. Apalagi saat ini perempaun itu melihat otot-otot punggung Rama yang tercetak jelas di balik kemejanya yang ketat.
“Oke.”
Dengan cepat, Rama melepaskan kemejanya, hingga punggungnya yang terbuka terlihat begitu jelas. Khinan ingin membuang muka, tetapi entah kenapa sudut matanya terus tertuju pada bahu lebar itu.
Khinan mengembuskan napas lega saat lelaki itu sudah benar-benar masuk ke dalam kamar mandi dan terdengar suara pintu dikunci.
Seketika Khinan mencibir dengan perbuatan Rama, mengunci pintu kamar mandi.
“Siapa juga yang mau nerobos kamar mandi,” dengus Khinan dengan mata menatap ke segala arah selain pintu kamar mandi itu.
Perhatian Khinan kembali pada ruangan itu. Interior yang mewah sesuai dengan harga. Ranjang yang luas dan sofa. Khinan menimbang-nimbang antara dirinya dan Rama siapa yang akan tidur di sofa. Tentu saja lelaki itu. Rama pasti tidak akan membiarkan dirinya tidur di sofa yang serba terbatas itu.
Melihat apa yang tersaji di depan mata, membuat Khinan seolah ditarik ke masa lalu, di mana dirinya akan berpikir dua kali untuk bisa berada di tempat itu. Jikapun nekad mendatanginya, Khinan akan menyesal kemudian.
Dan kali ini, dirinya ada di sana, dirinya sudah bisa menikmati apa yang ia lihat, Khinan memilih untuk room tour. Melihat-lihat fasilitas apa saja yang ia dapatkan dengan haga yang membuatnya harus merogoh kantong cukup dalam.
Sepuluh menit berlalu Rama keluar dari kamar mandi hanya menggunakan bathrobe yang panjangnya menutupi setengah betis dan sisanya betis berbulu lebat itu terlihat jelas di mata Khinan yang refleks menatap ke sana.
Dan hal itu membuat Khinan membulatkan mata, membuka mulut, tetapi langsung ditutupnya dan memalingkan tubuh.
“Kamu kenapa keluar pakai gituan doang?” tanya Khinan tanpa melihat lawan bicaranya.
Rama yang sedang mengeringkan rambut dan berjalan santai menuju tas kecil miliknya yang ada di tepi ranjang 
“Kenapa? Enggak ada yang salah kan? Aku enggak topless atau bugil,” jelas Rama masih cuek.
“Kenapa enggak langsung pake baju di kamar mandi aja sih, tadi!?” dengus Khinan masih memalingkan wajahnya tidak ingin melihat, tetapi sialnya bola matanya terus bergerak ke sudut. Ingin mengintip.
“Baju aku ada di dalam tas,” beritahu Rama sambil membuka tas dan mengeluarkan pakaiannya.
“Sana, kalau kamu mau mandi. Jangan lupa dikunci ya!” Rama mengerling jahil di akhir kalimatnya membuat Khinan memutar bola mata tidak percaya. Dan perempuan itu cepat-cepat membawa tas kecilnya ke dalam kamar mandi.
*** 
Entah berapa lama Khinan di dalam kamar mandi. Karena saat perempuan itu keluar. Di meja sudah terhidang menu makan malam yang semua itu hampir makanan kesukaannya.
“Kamu pesan makanan?” tanya Khinan masih bingung dengan rambut yang dibungkus di dalam handuk dan berjalan mendekat. Terlebih lelaki itu memesan dua porsi tanpa bertanya padanya terlebih dahulu.
“Iya, kamu masih suka makanan-makanan ini kan?” tanya Rama memastikan. 
Sejenak Khinan menatap lelaki itu yang menatapnya untuk memastikan.
“Suka.” Khinan mengangguk, sedikit ada rasa bahagia di dalam dadanya, tetapi sedetik kemudian perempuan itu mengingat sesuatu.
“Kasih aku nomor rekening kamu, biar aku transfer sekarang.” nada Khinan terdengar ketus.
Easy, Khi. Kita nikmati malam ini. Santai aja. Aku bukan orang yang suka nagih utang kok, apalagi belum ada 24 jam.”
Dalam satu detik, Khinan terdiam. Bukan karena permintaannya dijawab oleh lelaki itu, tetapi karena panggilan lelaki itu pada dirinya.
Khi, atau Kiki. Rama sering memanggilnya demikian daripada Khinan ataupun Nana.
“Mendingan kita makan dulu! Daripada maag kamu kambuh karena telat makan.” Rama mengingatkan lalu menarik tangan Khinan agar perempuan itu duduk di sisinya. 
Di sofa panjang itu dengan meja yang sudah terisi dua porsi steak lada hitam kesukaannya dan sebotol wine dengan dua gelas berkaki yang masih kosong.
Aneh, Khinan tidak bisa membantah, perempuan itu benar-benar menurut dan menatap menu makanan yang kini terhidang di depannya, benar-benar mengugah selera.
Tanpa sadar Khinan menelan salivanya saking mengiurkannya makanan malam ini.
Rama tersenyum tipis dengan tangan yang sibuk mengambil piring, lalu memotong daging steak itu hingga menjadi bagian-bagian kecil, lalu ditukarkannya dengan milik Khinan yang belum tersentuh.
“Kamu makan ini,” seru Rama yang siap kembali memotong daging miliknya.
Khinan hanya mengangguk tanpa suara, tetapi perempuan itu jelas mengucapkan terima kasih akan sikap kecil nan perhatian itu.
“Ayo dimakan!” perintah Rama, yang melihat Khinan hanya menatap piring itu.
“Ta…Ram.” Khinan mengigit bibirnya, karena selalu salah memanggil nama lelaki itu.
Rama menoleh dan menatap Khinan lekat. Mata mereka beradu tanpa banyak kata.
“Tama aja, spesial buat kamu,” goda Rama sambil tersenyum tipis dan kembali memasukan potongan daging ke dalam mulutnya.
“Kenapa? Kamu mau jelasin sesuatu?” tantang Rama sedikit tidak jelas karena lelaki itu bicara dengan mulut mengunyah.
“Kebiasaan! Kunyah dulu baru ngomong,” gumam Khinan yang masih ingat kebiasaan Rama.
Rama tersenyum dengan peringatan kecil dsri Khinan itu. Ternyata perempuan itu pun masih mengingat hal kecil tentang dirinya.
Dari tempatnya Khinan menatap lelaki itu tampak begitu menikmati makan malamnya, membuatnya lagi-lagi hanya bisa menelan salivanya saja.
“Kamu pasti ingin tahu sesuatu tentang aku kan? Kamu mau introgasi aku? Itu alasan, kenapa kamu minta aku buat berbagi kamar aja daripada biarin aku cari hotel lain?” tembak Khinan dengan mata menatap lekat.
Perempuan itu tahu, cepat atau lambat dirinya dan Rama akan dihadapkan pada situasi seperti saat ini. Duduk berdua, saling berhadapan dan tidak ada celah untuk menghindar. Karena kesempatan mereka untuk menghindar tampaknya sudah habis.
Namun,  keduanya tidak menyangka akan secepat ini, setelah beberapa pertemuan mereka yang lalu.
Rama berdecak, lalu mengelap bibirnya dan sedikit menyerongkan tubuhnya ke samping, menatap Khinan yang masih bergeming.
“Aku hanya menawari kebaikan. Dan situasinya juga enggak baik, jalanan di luar bahaya, menanjak, licin, hujan angin, petir.” Rama mengabsen semua yang ada dan Khinan membenarkan dengan anggukan.
“Aku enggak akan tanya apa-apa, Khi, itu hak kamu. Cuma aku pikir Tuhan emang kasih waktu untuk kita bertemu, untuk jelasin semuanya. Aku rasa, Tuhan itu adil.” Rama mengerling jahil lalu tersenyum. 
“Enggak usah ingetin aku soal itu, Ram. Aku tahu apa yang kamu bilang itu emang benar. Tapi aku lebih penasaran sama apa yang mau kamu tanyain ke aku.” Khinan tetap pada pilihannya. Menuntaskan apa yang menjadi rasa penasarannya.
“Sebaiknya kita makan, enggak enak kalau udah dingin.” Rama kembali hanya tersenyum dan tak menghiraukan permintaan perempuan itu.
Khinan terdiam ia menyadari satu hal. Dari apa yang ia tanyakan, justru dirinyalah yang sebenarnya penasaran akan diri Rama. Ia ingin tahu banyak tentang lelaki itu.
“Bagus, sekarang malah kamu yang keliatan penasaran,” gumam Khinan yang akhirnya menuruti perintah Rama daripada mendesak lelaki itu untuk bercerita.
Perpaduan steak dan wine memang perpaduan yang sempurna. Tanpa terasa satu porsi steak dan setengah botol minuman sudah mereka habiskan. Keduanya tampak begitu menikmati makan malam mereka yang mendadak ini, lalu dilanjutkan dengan minum, menghabiskan minuman yang tersisa. Di sofa yang dekat dengan jendela.
Khinan tahu, Rama pasti akan mendesaknya, setelah makan malam mereka. Memintanya menjelaskan apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, jadi Khinan memilih untuk mengatakan apa yang harus ia katakan. Lagi-lagi pemikiran itu menghampiri Khinan. Ternyata memang dirinya yang lebih penasaran akan kehidupan lelaki itu.
“Kita bisa lalui malam ini tanpa pertanyaan kan?” tanya Khinan mewanti-wanti. Alih-alih membiarkan dirinya untuk lebih dulu bertanya.
Rama yang melihat Khinan yang sudah tidak fokus hanya tersenyum dan mengagguk. Suara perempuan itu sudah tidak jelas, mungkin ia sudah mabuk.
“Oke, Deal. Tapi boleh kan kalau aku cerita? Kamu cukup dengerin tanpa perlu kasih komentar, cukup dengerin.” Rama memohon di akhir kalimatnya dengan menatap perempuan itu menunggu persetujuan.
Kan?! Khinan sudah menduga bagian ini, tetapi perempuan itu memilih untuk mengangguk tandasetuju.
Rama tersenyum senang, sebelum lelaki itu menatap langit di luar sana yang masih menurunkan hujan. Dengan cahaya kilat yang sesekali menerangi langit gelap malam ini. Khinan takut suara petir. Rama masih ingat itu.
“Dulu, aku pikir kamu pergi dan nuntut pisah karena ulah orangtua aku. Ternyata itu keputusan kamu, kamu yang ingin melanjutkan kuliah dan enggak mau terbebani sama status kita.”
Andai ini adalah cerita novel, sungguh Rama sudah membuka awalannya dengan inti cerita. Dan bagian yang paling tidak Khinan sukai.
“Kamu enggak bilang kalau setelah sekolah kamu pengen kuliah, kamu mau-mau aja aku ajakin nikah, kenapa setelah kita nikah kamu nuntut cerai dengan alasan pengen kuliah? Padahal kamu masih bisa kuliah walau kita terikat pernikahan.”
Rama kembali menutup mulutnya saat perempuan itu memilih untuk menjawab kalimat panjangnya. Padahal Rama hanya ingin mengatakan apa yang ia ‘pelajari’ selama ini.
“Aku enggak mau orangtua kamu lihat aku sebagai pasangan yang enggak bisa bagi waktu antara kewajiban dan Kuliah.” Khinan tidak bisa untuk tetap diam dan menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Meskipun Rama mengatakan ia hanya ingin bercerita, tetapi ‘ceritanya’ adalah sebuah pertanyan yang harus ia jawab, walau tidak dituntut untuk menjawab.
Mata Rama membulat. “Seharusnya kamu tanya aku. Minta pendapat aku. Bukan membenarkan ke-overthinking-an kamu.”
Khinan menunduk, ada sesuatu yang ingin ia jelaskan, tetapi tidak bisa. Ini adalah rahasianya. Tidak boleh ada yang tahu.
“Kamu egois tahu, enggak?!” ucap Rama meluapkan rasa kecewanya.
Khinan tersenyum. “Aku emang egois. Seharusnya seorang istri cukup layani suami di rumah, enggak perlu mengejar mimpi jadi pengacara, gitu kan?!” Khinan melancarkan apa yang ingin Rama katakan.
Rama menggeleng. Bukan itu maksudnya. Lelaki itu segera mendekati Khinan dan menggenggam tanganya. Mencoba untuk meyakinkannya. Mencoba untuk menjelaskan egois yang ia maksud itu yang bagaimana dan bagian mana.
Sungguh tangan lelaki itu masih mampu mengalirkan sengatan listrik di sekujur tubuhnya. Khinan tidak mampu menarik tangannya, itu terlalu nyaman, itu telalu sayang.
“Enggak. Bukan itu, Khi, aku akan dukung apa pun keputusan yang kamu ambil, selama itu baik buat kamu, tapi selama ini kamu enggak kasih tahu aku. Aku nebak-nebak sendiri.”
Khinan mengangkat wajahnya dan menatap Rama lekat. Ada berbagai ekspresi di mata lelaki itu, tetapi terlihat datar saat melihat wajahnya.
“Aku enggak yakin, Tam! Di saat kamu juga masih bergantung sama orangtua kamu. Kamu bisa ambil keputusan sebagai kepala rumah tangga.” 
Rama menghela napas dalam-dalam. Ia mengakui hal itu saat dulu, dirinya masih sesekali meminta bantuan orangtuanya, terutama biaya kuliahnya, tetapi untuk kehidupan rumah tangga. Rama masih mengandalkan hasil kerjanya sendiri. Toh, kuliah dan membiayai kuliah, orangtuanya sendiri yang menawarkan.
“Kamu pernah tanya mama kamu?” tanya Khinan tanpa sadar.
Mendengar nama ibunya membuat Rama seperti menemukan sesuatu.
“Mama?” tanya Rama tidak percaya.
Khinan tersenyum kecut. Perempuan itu menyesali ucapannya.
Khinan bangkit dari tempat duduknya, melepaskan tangan Rama yang sudah memberikannya kenyamanan.
“Aku belum selesai, Khi” Rama mengingatkan dan kembali meraih tangan Khinan dan meminta perempuan itu untuk duduk.
Sialnya Khinan tidak bisa menolak. Perempuan itu kembali duduk dan kali ini jaraknya dengan Rama semakin dekat.
Kini mereka duduk saling berdekatan, bahkan lutut mereka bisa saling menempel.
“Kamu tahu, saat pertama kali aku dengar pengacara rival klien aku adalah nama kamu, aku pikir itu orang lain,” beritahu Rama.
“Kenapa? Kamu enggak percaya karena aku bisa jadi pengacara?” seru Khinan mengejek.
Rama menggeleng dengan mata terus menatap tajam Khinan.
“Enggak, aku seneng, sangat senang. Apalagi saat kita benar-benar ketemu. Aku lihat kamu versi lain. Khinan Adithya yang tegas diluar tetapi lembut di dalam.”
Khinan tertawa dan menundukan wajahnya. “Kamu pikir aku ini apa? 
“Permen Chooey Choco,” lanjut Khinan dengan wajah yang kembali terangkat dan menatap Rama menuntut pengakuan.
Rama tersenyum dan menggeleng.
“Lebih dari itu, Khi, kamu lebih dari itu bagi aku, baik dulu ataupun sekarang.”
Dada Khinan menghangat. Sungguh lelaki itu bak hujan di tengah kemarau jika sedekat ini.
Mata Rama menatap Khinan lekat sangat lekat, memberitahu jika apa yang ia katakan itu benar. Sangat benar.
Khinan memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa berlama-lama menatap mata lelaki itu. Dirinya akan kalah.
“Khi, aku ingin kamu jawab pertanyaan aku dengan jujur,” pinta Rama, yang tahu Khinan sedang menghindari tatapannya.
“Apa?” Khinan tidak menatap lawan bicaranya.
“Apa masih bisa buat kita untuk bersama?”
***

Mantan KekasihWhere stories live. Discover now