28. Pagi hari di Surabaya

4.1K 246 2
                                    

"Ternyata Surabaya kalau malem nggak sepanas itu, ya," ujar Oci sambil menikmati angin malam dari rooftop restoran.

Lima belas menit yang lalu mereka baru menyelesaikan makan malam bersama beberapa karyawan yang ada di kantor pusat. Makan malam tersebut merupakan ide dari salah satu direktur keuangan kantor pusat, meskipun para petinggi tersebut datang sepuluh menit sebelum mereka menyelesaikan makan malam.

"Ya itu karena kita lagi di ruang terbuka aja. Kalau udah masuk kamar tanpa AC atau kipas angin, pasti bakalan panas."

"Emang iya?" Radhit mengangguk. "Tau dari mana?" tanya Oci.

"Aku pernah magang di sini enam bulan. Sewa kos yang harganya 300 ribu, tanpa kipas angin rasanya kayak dikukus padahal malem-malem."

Oci terkekeh, "Separah itu?"

Radhit mengangguk, "Habis itu aku langsung beli kipas walaupun setelahnya harus hemat-hemat biar uangnya cukup sampe akhir bulan."

"Hidup Mas Radhit seru banget, banyak pengalaman."

Sebagai manusia yang hidupnya begitu saja, Oci sedikit iri dengan banyaknya pengalaman yang Radhit miliki. Lebih tepatnya hanya ada satu kenangan buruk yang tidak perlu dikenang lagi. Setelahnya Oci hidup dengan datar dan biasa-biasa saja.

"Kalau dibilang banyak pengalaman, betul juga, tapi nggak semuanya pengalaman baik."

"Semoga semua pengalaman itu bisa buat kamu jadi lebih baik." Radhit tersenyum menanggapi ucapan Oci.

"Ayo, balik ke hotel! Anginnya kenceng, nanti masuk angin."

"Nggak mau, di kamar bosen." Oci menggeleng, ia masih ingin menikmati keindahan malam kota Surabaya. Meskipun hampir sama dengan Jakarta, tetapi suasana kota ini berbeda daripada Jakarta. Entah apa yang menjadi pembeda, Oci pun juga tidak paham.

"Dingin, Ci. Mending kita balik hotel, nonton netflix. Besok pagi aku ajak kamu jalan-jalan, deh. Aku mau kasih tahu kamu tempat yang keren besok pagi."

"Beneran, ya?" Radhit mengangguk yakin. "Oke," lanjutnya.

***

Brak...

"Aku minta maaf, Ka." Oci terduduk, menangis di ujung ruangan.

"Bajingan!" Azka kembali melempar kamus yang ada di atas meja. "Lo tau gue nggak suka sama dia tapi lo tetep jalan sama dia."

"Aku cuma nugas aja sama Sadam." Oci menjawab dengan suara bergetar. "Please, jangan marah," lanjutnya.

"Nugas nugas nugas nugas mulu yang jadi alasan. Nggak ada orang lain selain bajingan itu?"

Oci tahu betul bahwa Azka membenci Sadam, teman sekelasnya, tetapi ia juga tidak bisa menolak saat PJ mata kuliah membagi kelompok. Dengan tidak sengaja ia harus berada satu kelompok dengan Sadam.

"Udah aku bilang, bukan aku yang milih kelompoknya, Ka." Oci masih memberikan pembelaan walaupun tahu bahwa Azka tidak akan mau mendengarkannya.

Azka berjalan mendekat membuat Oci ketakutan. Napas Oci tersenggal saat Azka duduk telat di hadapannya. Laki-laki itu mencengkram tangannya kuat.

"Lo kalau suka sama Sadam bilang aja." Azka berkata sambil terus mencengkram kuat tangan Oci.

"Berapa kali aku bilang, aku nggak suka Sadam," balas Oci setengah merintih. Kuku Azka sudah hampir menembus kulitnya.

Our Traumas [End]Where stories live. Discover now