9. Pergi tanpa arah

332 13 0
                                    

Rania melangkahkan kakinya tanpa tau arah. Ia hanya menyusuri jalanan malam yang mulai ramai. Disana semua orang bersama orang tersayangnya, teman, pacar, orang tua, kakak atau adiknya. Berbeda sekali dengan Rania, ia sendirian. Ia tak tau mau pulang kemana. Hidupnya seperti menemui jalan buntu.

Ia mendudukkan dirinya di halte pemberhentian bus. Netranya menatap lurus ke arah jalanan. Tanpa sadar air matanya kembali turun. Rasa sesaknya mulai terasa lagi. Rania bertanya-tanya, mengapa dari semua anak harus ia yang merasakan perceraian? Kenapa harus Rania yang terbuang? Kenapa hanya Rania yang sendirian?

"Enggak adil ya."

Rania tersentak kaget, ia menatap seorang laki-laki yang baru saja duduk di sampingnya."Astaga gue kira siapa." ucap Rania sambil menghapus air matanya.

Galuh terkekeh. Ia mendudukkan dirinya di samping Rania." Gue ke rumah lo tadi, tapi—"

"Bukan bunda yang ada disana?" potong Rania cepat.

Galuh mengangguk." Itu alasan lo ada disini malem-malem?" tanya Galuh.

Rania mengangguk. Ia menatap Galuh. "Lo cari gue?" tanya Rania.

Galuh mengangguk." Iya."

"Ayah bawa istrinya ke rumah, terus sekarang bunda hilang kabar. Kok jadi gini, ya Gal?" tanya Rania dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Galuh hanya diam membiarkan Rania mengeluarkan keluh kesahnya.

Rania meremat bajunya kuat. Perlahan air matanya kembali menetes." Gue mau pulang Gal, tapi enggak tau mau pulang kemana. Kenapa enggak ada rumah yang mau terima gue ya, Gal?"

Mendengar itu membuat hati Galuh hancur. Ia langsung mendekap Rania kuat. Membawanya dalam pelukan nyaman dan ketenangan. Membiarkan gadis itu terisak dalam dekapnya. Persetanan dengan ingus dan air mata Rania yang akan mengotori bajunya. Saat ini yang terpenting hanya Rania.

"Lo punya gue, Rania." bisik Galuh.

Rania tak menjawab. Ia hanya menangis dengan kencang hingga membuat beberapa orang menatap ke arahnya. Namun Galuh tak perduli, ia hanya mendekap gadis itu kuat dan meyakinkannya bahwa ia tak pernah sendirian di dunia ini. Bahwa nyatanya, Galuh selalu bersedia menjadi rumah tangis Rania.

————————————————————

Tangisan Rania mulai mereda, gadis itu mulai menghapus air matanya. Entah kenapa ia merasa tak enak karena selalu menjadikan Galuh tempat tangisnya.

"Lo pulang aja." ucap Rania.

Galuh menggelengkan kepalanya." Gue mau disini temenin lo."

Rania menatap Galuh lama. "Kenapa?" tanya Rania.

Galuh tak menjawab. Namun ingin sekali ia teriak bahwa ia mencintai gadis di hadapannya ini. Namun tetap saja, Galuh terlalu takut asing. Ia terlalu takut Rania benar-benar hilang dari pandangannya.

"Dulu gue pernah jatuh cinta sama seseorang, gue pacaran sama dia, gue sayang banget sama dia, Gal. Tapi rasa takut gue terlalu besar, gue terlalu takut di tinggalin dia sampe akhirnya gue mau dia selalu ada di dunia gue. Sampai suatu hari gue minta dia jemput gue di persimpangan sekolah. Dan—" Rania menghentikkan ucapannya sejenak. Ia merasakan matanya kembali berair. Entah kenapa ia akhirnya membuka cerita ini ke Galuh. Luka ini terlalu lama ia pendam sendirian. Menatap dunia seolah baik-baik saja tak membuat lukanya mereda.

Sementara Galuh, ia yang paham akan hal itu langsung menggengam tangan kecil Rania dan mengusapnya lembut. "Lo enggak perlu ceritain kalau itu bikin lo sakit."

Rania menggelengkan kepalanya lalu menatap Galuh." Dia meninggal ketika jemput gue, motornya ketabrak. Seandainya gue—-"

Ucapan Rania terpotong saat Galuh mendekapnya ke dalam pelukan. Galuh mengusap rambut Rania lembut. "Ssttt... itu bukan salah lo."

Dari Galuh untuk RaniaWhere stories live. Discover now