Bagian 8. Lagi-Lagi Soal Uang dan Kekuasaan

140 21 10
                                    

Wanita yang duduk di kursi depan Dega itu melepas kacamatanya. Sebelah tangannya memijit pelan pelipis bagian kanannya. Benar, dapat Dega dengar hembusan napas lelah dari gurunya. Bukan sekali, bahkan ini sudah masuk hitungan kelima seingatnya.

"Dega, kamu itu pintar. Tapi kenapa selalu keluar masuk ruang bimbingan begini, coba?"

Sama seperti sebelumnya, bibir siswa satu itu tetap terkatup rapat. Bukan enggan, Dega hanya berpikir itu percuma. Sepanjang apapun kata yang ia rangkai, hasilnya akan tetap sama, sia-sia.

"Kamu juga setiap Ibu tanya perihal titik masalahnya selalu diam. Seolah-olah kamu membenarkan bahwa setiap masalah memang berasal dari kamu."

Sekali lagi, Bu Kintan menghela napasnya lelah.

"Dega, coba kali ini kamu jelaskan pada saya. Apa kamu yang salah?"

Dega sedikit tertarik dengan pertanyaan gurunya satu itu. Sebelah bibirnya tertarik ke atas. Ini yang ia tunggu.

"Ibu mau saya jelaskan apa yang terjadi dari sudut pandang saya? Yakin, Ibu akan percaya nantinya?"

Bu Kintan mengernyit. Namun, wanita berwajah tegas itu tak menyela perkataan Dega. Benar-benar membiarkan muridnya satu itu untuk melanjutkan ucapannya.

"Saya gak punya cukup uang untuk memberi sumbangan pada sekolah, Bu. Ibu saya juga bukan orang terpandang yang bisa jadi donatur untuk sekolah. Bahkan saya juga gak punya Ayah."

"Lalu maksudnya bagaimana? Anak yang tidak punya Ayah, apa cukup untuk jadi alasan kamu selalu diam setiap ada masalah?"

Dega tertawa riang. Menurutnya, ini benar-benar lucu.

"Memang, tanpa uang saya bisa keluar dari masalah? Apa tanpa kekuasaan belaan saya akan didengar? Bukannya cuma sia-sia ya, Bu?"

Bu Kintan mengangguk membenarkan. Apa yang Dega katakan memang kebenaran. Bu Kintan tidak bisa menyalahkan.

"Lalu, sudah tahu begitu kamu masih mencoba mencari masalah dengan orang berada?"

Tawa Dega luntur. Tapi sikapnya tetap tenang seperti sebelumnya. Mencoba membiarkan gurunya itu melanjutkan kalimatnya.

"Saya kasihan dengan kamu, Dega. Lebih baik, kamu dengar saran saya."

Ada jeda dari kalimatnya. Dan Dega juga tidak menyela.

"Berhenti cari masalah dengan mereka! Mereka itu punya banyak koneksi di sekolah ini. Orang tua mereka adalah orang-orang penting. Sekeras apapun kamu menentang, orang lemah seperti kamu tidak akan bisa menang dari kekuasaan mereka. Berhenti menentang mereka, Radega!"

"Bukannya saya sudah lakukan itu, Bu?"

Benar, kan? Sampai kapanpun sebuah belaan tidak akan pernah datang pada alur hidupnya. Semakin jauh ia melangkah, semakin banyak pula kesakitan yang akan anak itu rasa.

"Kalau begitu, lakukan terus seperti itu."

Dega salah bila meminta pembelaan pada gurunya. Seharusnya ia tidak lupa. Berharap pada manusia bukan sebuah jawaban. Semanis apapun kata yang keluar dari bibir wanita ini, semua akan tetap tidak berarti. Pada dasarnya, guru bimbingan konseling sekolahnya juga haus akan uang dan takluk atas kekuasaan.

GEMA MEMBIRUWhere stories live. Discover now