2. "Ayah dalam ingatan Abang" | Kim Gyuvin

186 15 3
                                    


"Any man can be a father, but it takes someone special to be a dad." - Anne Geddes

_

___

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


___


Ibu selalu bilang bahwa ia menyesal memilih ayah sebagai seorang suami. Ia kesal dan selalu bilang padaku agar kelak nanti harus dapatkan pasangan yang bisa imbangi aku dalam hal apapun. Terutama ekonomi dan emosi.

Ibu selalu katakan padaku agar bijak dalam pilih pendamping hidup nanti agar tak ada sesal luar biasa yang nantinya melekat layaknya yang ia rasakan sekarang.

Sering aku berpikir apakah penyesalan ibu sebesar itu sehingga tak hentinya ia ingatkan hal yang sama jika kami berdua sedang berbincang.

Ayah dalam pandangan ibu seakan begitu buruk dan begitu hina baginya. Sehingga ia tak ingin anaknya bertemu yang serupa di masa depan.

Aku tahu ibu menyayangi anak-anaknya setengah mati dan ia selalu katakan banyak hal untuk kebaikan anaknya. Tapi ayah dalam pandanganku berbeda.

Walaupun sebenarnya ia yang ku sebut ayah itu terlalu sulit ku pahami. Apa yang dia rasakan, apa yang ia dambakan, apa yang ingin ia laksanakan. Sulit aku mengerti.

Aku tahu ayah pun selalu berusaha dapatkan hal baik untuk anak-anaknya. Ia tidak punya kerja tetap seperti ibu, namun setiap hari beliau bangun pagi untuk pergi ke kebun miliknya.

Kebun yang ia rawat sejak beberapa tahun ini. Satu-satunya sumber penghasilan yang bisa ia usahakan. Ibu tak pernah masalah dan ia dukung hal itu. Yang penting ada hasil yang bisa didapatkan.

Tapi namanya manusia selalu merasa kurang. Ibu kembali mengeluh karena merasa kerja ayah satu-satunya itu tidak cukup untuk biayakan aku dan tiga orang adikku yang lain.

Dan kini aku sedang lihat ayah yang tengah duduk minum kopi di teras rumah. Dengan kaos lusuh dan celana kain hitam yang sudah sedikit sobek.

Aku tak pernah bincang berdua dengan ayah. Itu sebabnya aku katakan bahwa ia sangat sulit kutebak.

Jika dengan ibu aku bisa bicara dari hati ke hati, apa yang sesak didalam pikiran, apa yang menjadi beban.

Lalu dengan ayah aku hanya akan berbincang perihal sekolah dan aktivitas harian.

Ayah itu bukan orang yang pelit kepada anak-anaknya. Ia tak pernah ragu dalam memberikan. Bahkan terkadang jika tidak diminta pun ayah akan beri dengan alasan ia sedang punya uang kecil.

Atau sekedar beri uang agar kami bisa jajan sesuatu, katanya.

Atau ketika hasil kebunnya selesai dijual maka ia akan bagikan beberapa rupiah untuk anak-anaknya. Katanya bonus untuk kami. Lalu ibu akan memarahinya karena tidak pilih untuk tabung uang-uang tersebut.

Aku ingat waktu pagi itu ibu terburu-buru berangkat kerja dan tak sempat buatkan sarapan, ayah dengan senang hati belikan kami sekantong pisang goreng panas selepas mengantar ibu.

Mungkin memang tidak sehat, tapi aku bisa ingat jelas saat kami tertawa dan saling berebut pisang goreng yang hanya ada lima potong karena ayah sedang tak cukup uang.

Hingga berakhir adikku yang paling kecil mendapat dua potong dan kami masing-masing dapat satu. Ayah sama sekali tak masalah ketika ia tak dapat satu pun.

Toh hanya pisang goreng, katanya.

"Bang, nanti setelah lulus SMA kamu mau ambil jurusan apa?"

Itu hal pertama yang ia tanyakan saat aku pilih bergabung untuk duduk di teras bersamanya.

Aku sedikit tersentak dengan pertanyaan itu.

"Aku belum tahu"

"Sudah harus abang pikirkan dari sekarang, biar nanti tidak bingung lagi."

Aku menghela napas sebelum katakan sesuatu yang tidak pernah kukatakan pada ayah.

"Aku takut salah pilih jurusan. Karena aku ngerasa gak jago dalam hal apa-apa. Aku takut gak bisa hadapin dunia perkuliahan. Aku bingung mau pilih apa, nanti habis dari situ mau kerja apa."

Seluruh kalimat itu keluar dengan cepat. Aku pun kaget dengan diriku sendiri.

Pun sama dengan ayah yang ikut tersentak. Tidak sangka dengan jawaban yang aku berikan.

Ada hening sebelum ayah geser gelas kopinya ke arahku.

"Mau minum?" Aku menggeleng karena memang tak begitu suka kopi. Ayah lalu menghela napas pelan.

"Jangan bilang begitu lagi."

Aku lihat ayah setelahnya.

"Jangan bilang kamu gak jago apa-apa gitu ah. Manusia itu punya talenta dan potensi masing-masing di diri mereka."

"Mungkin kamu belum sadar sama potensi kamu karena terlalu kewalahan sama pikiran kamu yang berlebihan ini loh bang," Ayah mengetuk pelan dahiku dengan jari telunjuknya.

"Jangan fokus sama semua hal yang belum tentu terjadi. Pikiran kamu ini sudah terlalu jauh bawa kamunya. Sudah seberapa sering kata "takut" itu kamu ulang-ulang disini?" Ayah kembali tepuk pelan kepalaku.

"Jangan takut salah langkah. Kalaupun menurut kamu salah, ya itu cuma pikiranmu aja. Karena semuanya sudah ada yang mengatur, bang."

Aku melihat ayah yang tiba-tiba tersenyum tipis padaku.

"Ayah akan dukung kamu, apapun pilihan kamu nanti. Hilangin kata 'takut' di kepala kamu ini, ganti sama kata 'jangan takut', atau 'buat apa takut?' atau biar lebih keren tuh 'ngapain takut' gitu"

Aku tertawa karena ayah yang sengaja buat-buati suaranya.

"Dengar ya abang, semuanya sudah ada yang mengatur, setiap manusia sudah dibuat garis takdirnya, kalau Tuhan sudah bawa kamu sampai saat ini, Dia juga akan tuntun kamu sampai selesai."

Aku tersenyum pada ayah. Merasa jauh lebih baik dari sebelumnya.

Mungkin ayah belum bisa menjadi sosok suami yang sempurna bagi ibu ataupun sosok kepala keluarga yang terbaik unuk keluarga kami.

Tapi bagiku dia sudah menjadi sosok ayah yang luar biasa.

Ayah dalam ingatanku adalah orang yang hebat. Orang yang aku sayangi setengah mati dengan segala kekurangannya.

Aku harap ayah juga ibu selalu sehat hingga hari dimana aku bisa banggakan mereka.

Tuhan, tolong jaga keluarga kami selalu.

___

___

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Semesta Punya Cerita | Zerobaseone [ZB1]Where stories live. Discover now