"Jangan pernah angkat semuanya sendirian, pundak ringkihmu juga butuh sandaran untuk kembali melanjutkan."-Jendral Radena
***
"Anak siapa, tuh?!"
Jevin yang baru saja pulang bersama Jendral dengan motor kesayangannya terkejut. Sudah tepat jam tujuh malam, ada dua orang yang ketiduran didepan pintu rumah mereka.
"Anak Bapak lo."
Jendral lalu turun, Leon dan Andy sudah benar-benar seperti gembel profesional. Bau badan mereka juga sudah tercium dari jarak satu meter.
"Woi, bocah." Jendral menepuk pipi keduanya. Bukan menepuk, lebih ke menampar sebenarnya. Akhirnya Leon dan Andy bangun, sambil mengucek kedua matanya yang masih diliputi kantuk.
"Abang udah pulang?" tanya Leon sambil meregangkan ototnya, mengerjapkan mata beberapa kali.
"Lah kalo belom pulang, terus kita siapa?" sahut Jevin yang berjalan menuju mearah mereka, sambil memainkan kunci motornya.
Andy dan Leon tertawa singkat. Setelah makan gorengan tadi, mereka duduk sambil mengobrol didepan pintu, eh keterusan sampai tidur.
"Kalian udah sholat belum?" tanya Jendral yang membuat keduanya melotot sempurna.
"Cepet bukain pintunya, Bang. Nanti bang Juna pulang kita diselepet sapu lagi!"
"Iya sabar, Susanti." Jevin membukakan pintu, dan dua curut langsung menuju kamar mandi.
***
Juna masuk bersama Chandra. Sebenarnya waktu pulang mereka tidak bersamaan, tapi tadi Chandra mampir kerumah temannya dan bertemu Juna di perjalanan pulang.
"Assalamualaikum, fans-ku yang sudah menunggu!"
"Waalaikumsalam. Tumben banget nih, jin Iprit masuk pake salam," balas Jendral yang sedang menemani Jevin masak, sembari makan gorengan.
"Asem. Kayak lo bukan Jin aja, Jenok." Chandra menempeleng kepala saudaranya itu.
"Nama gue Jendral, bukan Jenok."
"Serah gue, dong."
Juna turut bergabung dengan Jendral, juga menyomot gorengan yang ada di meja. "Leon sama Andy kemana?"
"Annyeong yeorobun!" sahut Leon yang baru saja keluar kamar dengan posisi digendong belakang oleh Andy, juga dengan sarung yang menandakan mereka baru selesai melakukan ibadah.
Sebenarnya posisi mereka terbalik, tapi yasudah lah, badan Andy juga yang lebih genter.
Mereka makan malam bersama, disertai dengan canda dan tawa yang menaburi keharmonisan enam saudara tersebut.
"Assalamualaikum."
"WAALAIKUMSALAM, ABANG!!"
Mahen tersenyum bahagia melihat dua adik bungsunya yang berlari menghampiri dirinya. Lelah tak lagi dia rasakan saat melihat keenam adiknya yang bahagia, khususnya Leon dan Andy.
"Andy udah nungguin abang daritadi. Btw besok ada rapat orang tua, bang Mahen bisa dateng, gak?" tutur Andy dengan raut berharap.
Leon mengangguk. "Leon juga. Sesekali Bang Mahen yang berangkat."
Mahen menipiskan bibirnya. Sebenarnya dirinya ingin datang ke sekolah Andy dan Leon. Tapi bahkan, waktunya dirumah sangat terbatas. Waktu kerjanya tidak bisa diganti ataupun digeser. Gaji Mahen pula tidak seberapa, hanya untuk mencukupi keseharian adik-adiknya saja, terkadang masih kurang.
"Bang Juna, Jevin, Jendral, sama Chandra 'kan ada. Kalo Abang banyak kerjaan jadi gak bisa. Maaf banget, ya." Mahen menatap keduanya dengan tatapan sendu. Raut wajah Leon dan Andy juga berubah seketika.
"Kalian jangan sedih, liat ini Abang bawa apa." Mahen membuka kantong plastik yang dibawanya yang berisi martabak telor.
"WAHH MARTEL!! LEON LOPE BANGET SIHH!!!"
Leon selaku ketua PMT atau Penyuka Martabak Telor langsung gembira dengan sangat. Andy juga tak kalah senangnya. Mahen memberikan plastik tersebut dan mereka bawa menuju empat orang di meja makan.
"Wahh, kalo gini gorengannya Jevin bisa kalah dong!" cerocos Chandra yang sudah berbinar melihat martabak telor dihadapannya.
"Tidak dong, kan ada saya selaku kembaran yang baik, cuma ngabisin segitu doang sabi lah," papar Jendral yang telah memakan gorengan paling banyak diantara mereka.
Mahen tersenyum tipis, "Jangan makan gorengan banyak-banyak, ya. Gak sehat."
"Hehe, iya Bang. Tadi soalnya Jendral request sama gue, jadi cus buat aja, bahannya juga masih sisa."
Mereka bertujuh duduk, untuk makan malam bersama. Diiringi dengan candaan dan tawa yang meledak-ledak, hingga suaranya tersebar di segala penjuru ruangan. Menikmati kebersamaan, sebelum perlahan semuanya hilang.
***"Gue gak terima kalo lo terusan gini. Lo juga sama kaya kita, Bang! Lo terus berpikir kalo kita ini masih kecil. Kita udah dewasa! Gue juga bisa bantuin Abang, gue bisa kerja juga. Pikirin kondisi kita sekarang."
Mata Jendral memerah. Dia tidak suka terus begini. Mahen tidak suka adiknya bekerja, padahal dia tahu jika kondisi perekonomian mereka sedang tidak stabil. Terlebih hanya Mahen yang berusaha sendiri.
"Maksud Abang bukan gini, Jendral. Tugas kamu itu belajar, bukan kerja! Ini tugas Abang. Abang cuma mau kamu belajar yang bener, bukan harus kerja. Nanti ada waktunya, Jendral! Abang cuma gak mau kamu ikutan pusing gara-gara mikirin keuangan."
Mahen mengetahui jika Jendral dan Jevin diam-diam bekerja. Selama ini ketika mereka pulang dari kampus, tak langsung pulang. Mereka berdua bekerja di steam mobil dan cafe. Sedangkan rumah sedang kosong, Mahen pulang sebentar dan Jendral tidak ada jadwal kampus. Rencananya Jendral akan pergi ke steam, tapi ia urungkan karena Mahen pulang. Dan ternyata dia sudah tahu.
"Lo harus kasihan sama diri lo sendiri, Bang. Jangan angkat semua beban ini sendirian. Adek abang udah pada gede, kita bisa aja bantuin abang," papar Jendral dengan intonasi yang lebih rendah dari sebelumnya.
***
minta bintang kecilnya dong, Staryn. pencet tanda bintang di pojok kiri jangan lupaa🌷
tbc. see u next part!
🌷plower
KAMU SEDANG MEMBACA
Argana || NCT Dream [REVISI]
Fanfiction⚠BROTHERSHIP AREA, NOT BXB!!⚠ Jangan lupa follow akun wattpad author sebelum membaca! ** Bukan apa-apa, ini hanya tentang keenam Argana yang sama-sama bertarung dengan masa lalu mereka. Kehilangan. Siapa yang tidak pernah merasakan hal ini? Terlebih...