Awal mula

1.3K 93 5
                                    

Tatapan lelaki itu menusuk dingin, seakan mampu membinasakan siapapun yang mengusik ketenangan jiwanya. Wajahnya yang sebelumnya bersahabat kini terdistorsi menjadi gambaran ketegangan.

Dalam genggaman tangannya, pistol mengintip keluar, siap untuk menembakkan ketakutan kepada siapapun yang mencoba menggoyahkan tekadnya. Di hadapannya, sosok perempuan tegar berdiri dengan kokohnya, tidak bergeming meski wajahnya ditujukan oleh senjata mematikan.

"Ada sesuatu yang ingin kau tahu, bukan?" gumamnya, suaranya rendah namun penuh keberanian. "Namun, apakah kau benar-benar berpikir bahwa ancaman ini akan mengubah segalanya?"

Lelaki itu merasakan keraguan menyusup dalam hatinya. Sedetik, ia merenung. Apakah benar tindakannya yang keras ini akan menghasilkan sesuatu selain kengerian?

Perempuan itu masih berdiri kokoh, tak goyah oleh ancaman yang nyata. Dia mengenali tatapan lelaki itu sebagai bentuk ketakutan yang tersembunyi, dan dia sadar bahwa sekaranglah saatnya untuk membalikkan keadaan.

Dengan suara tenang, perempuan itu berkata, "Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mencegahku, tapi jika kau benar-benar ingin mendengarnya, maka turunkan senjatamu dan dengarkanlah aku."

Lelaki itu merasa keraguan kembali memenuhi pikirannya. Dalam sekejap, ketegangan di udara berkurang sedikit demi sedikit. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan pistolnya di meja di dekatnya. Hatinya dipenuhi oleh campuran kebingungan dan rasa ingin tahu.

"Cut!" seruan Radit mengakhiri adegan tersebut, dan Fauzan yang masih menahan nafas akhirnya melepaskan senyuman lega. "Bagus sekali, Fauzan," pujian itu terasa seperti sentuhan hangat, disertai tepukan ringan di bahunya yang membuat lelaki itu mengangkat sedikit dagunya dengan bangga.

Sudah hampir sebulan lamanya Fauzan terlibat dalam proses syuting film terbarunya. Walaupun melelahkan, ia merasa semua jerih payahnya terbayar ketika melihat hasilnya yang sesuai dengan rencana. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan mendekati Win, sang manajer yang telah mengatur segalanya dengan rapi.

Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti dan raut wajahnya berubah ketika melihat seseorang yang selalu ada di pikirannya hadir di lokasi syuting. "Iel!!" seruan itu keluar begitu saja dari bibir Fauzan, dan tanpa ragu ia berlari kecil menuju orang yang telah lama ia rindukan.

Dalam sekejap, mereka berdua bertemu di pelukan hangat yang penuh kebahagiaan. Gabriel, suaminya yang selalu menjadi pendukung nomor satunya, tersenyum lebar dan membalas pelukan itu dengan erat. "Aku kangen, Byy," gumam Gabriel dengan suara lembut yang membuat hati Fauzan berdesir bahagia.

Fauzan mencibir sambil mengeratkan pelukan mereka. "Aku juga, sayang. Aku kangen banget."

Gabriel hanya tertawa ringan, lalu memandang Fauzan dengan lembut. "Aduh, Byy. Jantung aku bisa loncat dari tempatnya nih."

Fauzan terkekeh, memainkan rambut Gabriel yang sudah melewati dahi dengan lembut, pandangannya penuh kasih sayang. "Kerjaan kamu udah selesai?" Tanyanya pelan.

"Udah, sayang." Gabriel mengangguk, tangannya dengan lembut bergerak ke pinggang Fauzan, dan dia berbisik dengan senyum menggoda, "Jadi, mana hadiah aku?"

Fauzan hanya bisa tertawa dan menampar lembut bahu Gabriel. Dia melirik sekeliling, menyadari beberapa mata yang memperhatikan mereka. Tapi tentu saja, sebagai pasangan yang sudah bersumpah di hadapan altar, mereka tahu betul bagaimana menjaga kemesraan tanpa mengganggu siapa pun.

"Sini," ajak Fauzan seraya meraih tangan Gabriel dengan lembut, berjalan menuju tempat ganti para aktor dan aktris. Kini, hanya ada mereka berdua di ruangan itu.

Mereka berdua duduk di sudut yang sunyi, terpisah dari hiruk-pikuk keramaian. Tatapan Fauzan mengandung makna mendalam saat ia menatap mata Gabriel. Tanpa ragu, ia meraih wajah lelaki itu dengan lembut, menariknya mendekat. Jari-jarinya menyentuh tengkuk Gabriel dengan penuh kelembutan, mengurangi jarak di antara mereka, dan akhirnya bibir mereka bertaut dalam sebuah ciuman penuh kerinduan.

Sentuhan itu membuat senyum tersungging di sudut bibir Gabriel sebelum akhirnya lelaki itu membalas ciuman Fauzan dengan penuh gairah. Mereka berdua seperti terhanyut dalam aliran waktu, saat rasa rindu mereka mengalir begitu saja tanpa batas.

Namun, tak lama kemudian, Gabriel menarik Fauzan dengan lembut dan memintanya untuk duduk di pangkuannya. Keduanya merasakan getaran asmara yang tak terduga dalam setiap sentuhan, seolah ranum yang mereka rasakan adalah narkoba yang membuat mereka terbuai dalam kebahagiaan.

Mereka duduk berdekatan, tubuh mereka bersatu dalam kehangatan dan cinta. Sentuhan demi sentuhan, candaan kecil, dan tatapan penuh makna menjadi bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti. Tidak ada kata yang bisa cukup menggambarkan perasaan yang meluap-luap di antara mereka, karena dalam momen ini, waktu berhenti dan yang ada hanyalah mereka berdua, terikat dalam ikatan yang tak tergoyahkan.

ScandalWhere stories live. Discover now