Bab 10

53 11 1
                                    

Bar cukup sepi saat aku datang. Hanya ada beberapa tamu. Maklum, aku datang terlalu awal. Aku masih takut kalau polisi memergokiku. Jadi, aku menggunakan hoodie dan menutup kepalaku dengan tudung. Mataku segera memindai begitu melewati pintu, mencari tempat yang pas untuk mengawasi, terutama mengawasi pintu masuk. Aku memilih duduk di meja lantai dua, dekat dengan pagar pembatas. Dari sana aku dapat melihat isi bar dengan jelas.

Berbeda dengan biasanya, aku hanya memesan cola. Aku tak ingin mabuk saat mencari orang yang tahu persis apa kejadian malam itu. Ketika menemukannya nanti, aku ingin cukup waras untuk menanyainya.

Kuamati pintu masuk dengan sabar sembari meneguk minuman dingin. Alih-alih melihat PSK itu, aku malah melihat satpam yang malam itu memberiku minuman. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera turun, melewati beberapa anak muda yang ingin menikmati musik dari lantai atas. Ketika sampai di dekat pintu kulihat satpam itu sedang melangkah keluar.

"Hei! Tunggu!" pintaku. Suaraku kalah keras dibanding alunan musik DJ. Aku terpaksa keluar, menarik tangan satpam itu dan bertanya, "Bisa bicara sebentar?"

Si satpam mengernyit. Namun, ia mengedikkan bahu dan menuntunku ke tempat yang tidak terlalu bising. "Ada apa?"

"Kamu inget aku, nggak?"

Mata si satpam memindaiku. "Lah, mana kuingat! Pelanggan di bar ini kan banyak. Masa iya aku harus inget semuanya?Memangnya aku pernah memukulmu? Kalau iya, ya salahmu sendiri karena buat onar."

Aku menggeleng. "Dua malam lalu kamu menraktirku minuman," kataku mengingatkan.

"Masa?" Dia memandangku serius. "Ah, kamu pasti salah paham. Orang aku nggak kenal kamu, kok. Masa berani traktir?"

Kuanggukkan kepala. "Memang kita nggak saling kenal. Tapi kamu ngasih aku minuman, lalu mengenalkanku pada wanita malam."

Alisnya naik satu. Ia lalu menggeleng. "Nggak mungkin," ujarnya. "Aku bukan germo. Dan aku nggak pernah ngasih minuman ke laki-laki. Aku juga bukan hombreng."

"Tapi kamu ngasih aku minuman dua malam lalu. Masa nggak ingat, sih?"

"Kamu pasti salah. Bukan aku, kali?"

Aku mendecakkan lidah. Kutanya dia dengan pendekatan berbeda. "Oke, mungkin emang bukan kamu yang menraktirku. Mungkin wanita itu yang menraktirku tetapi dia meminta tolong padamu untuk memberikan gelas itu padaku."

Lagi-lagi, si satpam menggeleng. "Denger ya, Bro! Aku ini kerja sebagai petugas keamanan, bukannya pelayan. Apalagi pesuruh. Kalau emang ada orang yang ingin aku melanturkan gelas kepada orang lain, sudah pasti bakal kutolak. Ogah banget!"

"Tapi, aku jelas-jelas melihatmu memberiku gelas. Kamu bahkan berkata sesuatu padaku dan menunjuk seorang wanita yang nggak lama kemudian menghampiriku."

Si satpam tampak kesal. Wajahnya mulai tak sabar. "Coba ingat lagi, apa memang orang itu aku? Kamu yakin itu aku?"

Aku juga sudah kehilangan kesabaran. "Dengar," kataku menghela napas panjang. "Aku cuma ingin tahu siapa wanita yang kamu kenalkan padaku itu. Di mana aku bisa menemuinya?"

Dia bersiul. Tangannya di pinggang dan matanya mengawasiku. Ia pasti berpikir aku jatuh cinta kepada wanita tersebut. "Sori," katanya, "kayaknya kamu salah orang, deh! Aku nggak pernah mengenalkan siapa pun kepada orang lain di bar ini. Aku juga nggak pernah mau disuruh ngantar minuman untuk orang lain. Berapa pun orang itu mau membayarku. Aku punya harga diri." Ia lalu meninggalkanku yang melongo.

"Tapi, tapi—"

Ia berbalik sejenak dan berkata, "Kalau kamu memang ingin mencari seorang PSK, coba tanya Sally. Siapa tahu dia kenal."

"Siapa Sally?" tanyaku. Namun, dia tak menjawab. Aku ingin menyusulnya tetapi sebuah mobil polisi berhenti di parkiran. Sialan. Sembari menunduk, aku menuju parkiran, mengambil motorku.

Kulihat para polisi itu tidak keluar dari mobil, hanya menurunkan kaca jendela. Tak lama, satpam tadi menghampiri, memberikan amplop yang diganti dengan selembar kertas dari polisi itu. Entah apa isi kertas tersebut, aku tak mau tahu. Aku terlalu takut untuk tetap di sana lama-lama.

Jalanan ramai ketika aku keluar dari bar. Kukendarai motor sambil berpikir mengapa satpam itu mengelak. Aku ingat betul postur dan seragamnya sama persis dengan satpam yang mengantarkan minuman ke mejaku dulu. Namun, saat itu aku memang sudah mabuk. Pandanganku sedikit kabur. Dan setelah kupikir, aku tak mengingat wajahnya dengan benar. Apa mungkin ada dua satpam yang menjaga bar itu? Kalau memang begitu, aku harus mencari tahunya lagi besok.

Walau tak sempat mendapatkan apa yang kucari malam ini, aku mendapat sebuah nama. Sally. Siapa dia? Mungkin dia adalah Mami dari rumah bordil terkenal. Atau, PSK yang sering datang ke bar. Atau malah dialah wanita PSK yang kucari.

Aku melihat jarum penunjuk jumlah bensin pada stang motor dan terkejut karena menunjuk huruf E. Tak mau berhenti di tengah jalan karena kehabisan bahan bakar, aku pun membelok ke SPBU. Aku semakin terkejut mendapati bahwa uangku tinggal dua puluh ribu. Ke mana uang-uang itu pergi? Rasanya aku boros sekali. Malam ini mungkin aku bisa bertahan tetapi besok, bagaimana? Aku makan apa?

Aku tak punya pilihan selain menyalakan ponsel dan menelepon Lastri. Saat kuhidupkan puluhan pesan masuk ke dalam aplikasi WhatsApp, 20 laporan panggilan tak terjawab, serta sebuah pesan SMS.

Aku mengabaikan semua itu dan langsung menelepon Lastri lewat WhatsApp. Teleponku diangkat begitu tersambung. Meski begitu aku tak bisa langsung berkata-kata karena Lastri terus mencerocos.

"Di mana kamu, Mas? Malam-malam menyelinap kayak maling saja! Kenapa nggak pulang-pulang? Polisi ke sini lagi dan nanyain kamu, tahu nggak! Mereka ngira aku nyembunyiin kamu!"

"Ssst!" aku meredam ocehannya. "Aku akan beritahu di mana aku tapi nanti, sekarang kirimi aku uang dulu. Uangku habis."

"Enak aja!" Lastri membentak. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Namun, dia belum selesai bicara. "Kamu udah ambil uang toko segitu banyak masih berani minta? Emang dasar nggak punya otak! Kamu kan tahu itu uang untuk membayar supliyer. Kenapa dicuri, sih? Sekarang aku harus jual apa?"

"Kamu kan bisa utang dulu!"

"Utang dulu, dengkulmu! Yang bulan kemarin saja belum sempat dibayar. Pokoknya aku nggak mau tahu, pulang sekarang!"

"Nggak bisa, Dik. Aku takut," kataku.

"Takut sama siapa?"

"Katamu polisi datang ke sana lagi, nyari aku?"

Terdengar decakan lidah dari ponsel. "Sebenarnya, apa yang telah kamu perbuat to, Mas? Mbok ya akui saja. Para tetangga bicara yang bukan-bukan tentangmu. Aku sih nggak terperanguh. Kalau mereka menjelek-jelekkanmu, aku sudah biasa. Emang kamunya jelek, kok. Tapi, aku takut Nadia ikut diseret juga."

Perutku mencelus. "Kenapa Nadia ikut terseret?"

Desahan terdengar dari bibir istriku. "Sejak polisi mencarimu ke rumah para tetangga kepo. Mereka mulai berprasangka yang bukan-bukan. Katanya kamu nyolong-lah, narkoba-lah, membunuh-lah. Mereka yang kepo sering ke toko cuma nanya kamu berbuat apa sampai-sampai dicariin polisi dua kali. Karena aku jawab nggak tahu, mereka beralih ke Nadia. Pas Nadia juga jawab nggak tahu, mereka mulai ngatain. Yang cantik-cantik anak psikopat, kalem-kalem ternyata anak begal, diam-diam anak maling, dan masih banyak lagi. Nadia sampai nggak mau sekolah. Keluar rumah aja nggak mau, lho."

Aku memijat kening frustrasi. Aku nggak bisa terus-terusan lari, tetapi aku juga tak mau ditangkap polisi. Bagaimana ini? Apa yang mesti kulakukan? Kasihan Nadia, menderita gara-gara aku. Rasanya kepalaku mau pecah.

***


Kucing Dalam TempurungWhere stories live. Discover now