3. How Are You?

369 61 22
                                    

Setelah lima menit berdiri diam di pinggir koridor yang mulai sepi, Nadhi menoleh lagi pada satu-satunya pintu ruang kelas yang masih terbuka. Belum ada tanda-tanda Fariz akan keluar. Namun, ia tetap di tempatnya.

Beberapa saat lalu, kelas Ekonomi Koperasi diakhiri. Nadhi begitu lega. Setelah mendapat teman satu kelompok, ia bergegas kabur dari kelas itu. Seharusnya ia melakukan beberapa hal sebelum melesat keluar dari kelas. Sambil memberi teguran pada diri sendiri, Nadhi yang sudah turun ke lantai satu, segera kembali ke tempat kelasnya berada. Dengung percakapan dan riak tawa samar-samar terdengar dari tempatnya berdiri. Meski tidak mengintip, Nadhi yakin Fariz masih ada di sana.

Lima menit berikutnya, Nadhi mendengar langkah-langkah kaki. Harap-harap cemas, ia mengawasi pintu, mendapati Fariz yang keluar pertama kali. Saat tatapan mereka bertemu dan Nadhi memutuskan tidak membuang-buang waktu untuk menghampirinya, ia melihat laki-laki itu mengernyit samar.

"Kak—"

"Hai." Fariz tersenyum sembari mendekat padanya. "Belum pulang?"

"Belum, saya nunggu Kak Fariz."

Bola mata laki-laki itu melebar, tampak berbinar-binar. Nadhi tidak berani bertanya-tanya, apalagi melirik ke arah teman-teman Fariz yang keluar satu per satu. "Oh, sorry—"

"Nggak apa-apa, Kak," sela Nadhi, buru-buru. "Memang saya yang mau nunggu."

Setelah meminta teman-temannya menunggu di lantai satu, yang kelihatannya sulit karena Fariz harus menghadapi siulan dan tatapan meledek, laki-laki itu memusatkan perhatian pada Nadhi.

"Maaf, ya, teman-temanku kadang bisa berisik banget, semoga kamu nggak ngeri sama mereka karena masih harus satu kelas sampai akhir semester."

Senyum Fariz melebar, menyamarkan lebih banyak gurat-gurat tegas di wajahnya yang bersih dan cerah. Tanpa bisa dicegah, Nadhi merasakan dirinya ikut tersenyum. Tidak mengherankan apabila ada cukup banyak teman satu angkatannya yang mengagumi laki-laki itu. Terkadang sampai berebut perhatiannya.

Pertama-tama, Fariz memang tampan. Itu jadi salah satu bukti kuat yang membuat para perempuan di lingkungan kampus menoleh dua kali ketika Fariz ada di sekitar mereka. Sinta selalu mengoreksinya, bahwa Fariz bukan hanya tampan, melainkan sangat tampan. Selain punya wajah yang tak bisa ditolak oleh perempuan paling cantik sekalipun, Fariz juga mentereng secara akademis. Nadhi menduga sebagian besar prestasi yang dipajang di akun instagram himpunan mahasiswa jurusannya merupakan prestasi laki-laki itu.

"Kamu pasti nunggu lama di sini." Fariz menatapnya dengan sorot mata yang hangat, persis seperti yang ia dapatkan tahun lalu, saat duduk ketakutan di ruang kelas yang penuh kertas-kertas. "Ada apa? Kamu butuh buku catatanku? Masih ada yang belum dicatat?"

Nadhi memutuskan bahwa setelah sekian lama tidak berbicara dengan Fariz, laki-laki itu masih sosok yang sama seperti terakhir kali ia menghadapinya. Penyabar, perhatian, dan tenang. Ia tidak bisa membayangkan laki-laki itu tergesa-gesa, apalagi membentak-bentak.

Sambil menggeleng dan berharap suaranya tak gugup, Nadhi menjawab, "Saya mau minta nomor HP-nya Kak Fariz."

Sebelum Fariz memikirkan sesuatu yang sama sekali bukan niatnya, Nadhi segera menambahkan, "Buat tugas koperasi. Tadi saya lupa—"

"Aku."

Nadhi mengerjap. "Apa?"

Senyum di wajah Fariz belum juga lenyap, menambah sedikit demi sedikit kegugupan Nadhi. "Aku, bukan saya. Ospeknya, kan, udah setahun yang lalu, Nadhi."

Sejenak, Nadhi diam, memprosesnya, kemudian merasakan pipinya memanas. "Ya, aku—"

Tenggorokannya tersekat oleh kombinasi rasa malu, gugup, dan tersipu yang sangat tidak pada tempatnya. Bagaimana ia bisa tersipu saat Fariz tidak menggodanya? Dan bagaimana bisa ia berpikir Fariz menggodanya, saat ada banyak sekali perempuan cantik dan penuh percaya diri di sekeliling laki-laki itu? Sudah pasti, Nadhi bukan salah satunya. Nadhi mengigit bibir, menatap Fariz yang menunggu, lantas mencoba lagi.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang