Enam

40 5 0
                                    

Malam itu Kumala Dewi menghadiri resepsi perkawinan seorang teman, Antonio dan Immelda. Pesta perkawinan itu diselenggarakan di auditorium sebuah hotel berbintang, ia harus hadir dalam perkawinan itu, karena kenal dekat dengan Immelda. Kumala hadir bersama Pramuda agar kesendiriannya tak terlalu menyolok di antara para undangan. Kebetulan Pramuda sendiri sangat kenal dengan Antonio, yang selama ini menjadi rekanannya dalam berbisnis.

Tapi hubungan Kumala dengan Pramuda bukan hubungan antara sepasang kekasih. Pramuda adalah orang pertama yang menemukan Dewi Ular saat si anak dewa itu jatuh ke bumi. Hanya si bujang lapuk itu yang mengetahui rahasia Kumala, di mana setiap bulan purnama tiba, gadis cantik itu akan berubah menjadi seekor ular bersisik emas dan berkepala manusia.

Itulah sebabnya Pramuda tidak mau menjalin hubungan asmara dengan Dewi Ular. Ia tak berani menanggung resiko yang dapat menjadi buruk di kemudian hari. Ia memilih menjalin hubungan persaudaraan dengan Dewi Ular. Dan ternyata persaudaraan itu membawa keberuntungan tersendiri bagi Pramuda. Usahanya makin meningkat dan berkembang setelah Kumala duduk dalam perusahaan tersebut sebagai konsultan.

"Kapan kau akan mengadakan pesta seperti ini, Pram?" bisik Kumala. "Seharusnya sudah sejak tahun kemarin kau mengadakan pesta seperti ini. Nggak usah banyak pilih deh, ntar bulukan luh! Ingat, usiamu sudah banyak. Ubanmu juga banyak!"

Pramuda menggerutu tak jelas. Kumala tak mempedulikan gerutuan tersebut.

"Kudengar dari Sandhi, kau sedang menjalin hubungan akrab dengan Andani, putri konglomerat itu. Iya?"

"Kamu ini!" sentak Pramuda. "Dari rumah aku kan sudah bilang, aku mau barengan kamu kemari, tapi aku nggak mau kamu bicara tentang pribadiku yang satu itu!"

Kumala justru tertawa geli. Sayang Sandhi tidak ikut di samping mereka. Sandhi menunggu di mobil. Kalau saja ada Sandhi di samping mereka, Kumala akan semakin menggoda Pramuda dengan sindiran yang dilontarkan kepada Sandhi.

Denting suara sendok dan piring beradu bertaburan di sana-sini. Gemuruh percakapan mereka bagaikan rombongan lebah sedang berpesta pora. Maklum, kala itu acara santap malam dimulai, para undangan mengambil hidangan sendiri-sendiri secara prasmanan. Kumala Dewi sedikit kaget karena ada yang menegurnya dari belakang dengan nada canda.

"Hati-hati, sendoknya jangan sampai ikut ditelan. Dewi."

Siapa lagi orang yang menyapa Kumala dengan panggilan Dewi kalau bukan si pembawa acara Lorong Gaib di televisi itu: Niko Madawi. Gadis bergaun biru dengan wewangian yang khas menyebar memenuhi ruangan itu buru-buru berpaling ke belakang. Pramuda yang sedang dalam posisi memunggunginya juga ikut berpaling ke belakang, dan memberikan senyum persahabatan kepada pemuda berambut cepak itu.

"Hei, Nik...?! Sama siapa kamu?" Kumala Dewi balas menegur ramah.

"Yaah, elu lagi, Nik?! Kirain mertuanya si Immelda?!" timpal Pramuda.

"Enak aja. Memangnya aku udah kelihatan setua Oom Hans, papanya Antonio itu?" sambil Niko tertawa lepas saja. "Oh, ya. Kenalin nih asistenku yang baru: Nanu namanya."

Kumala Dewi dan Pramuda berjabatan tangan dengan Nanu. Dia seorang pemuda sebaya dengan Niko yang punya badan sedikit lebih gemuk dari Niko sendiri. Rambutnya agak lebat, tapi tak sampai sepundak.

"Baru datang kamu, Nik?"

"Udah dari tadi. Tapi aku tadi asyik mojok sama Pak Susman di sebelah sana."

"Pak Susman yang dikenal sebagai kolektor benda-benda pusaka itu?" sahut Pramuda. Niko mengangguk, karena mulutnya sudah telanjur mengunyah kerupuk udang.

"Makan di mejaku aja, yuk?" usul Kumala Dewi yang tampak berharap sekali agar dapat makan bersama Niko. Agaknya Niko dan Nanu tidak keberatan atas usul tersebut.

"Kamu kenal sama Immelda, ya?" tegur Kumala kepada Niko.

"Yang kukenal adalah Antonio nya, bukan Immeldanya. Antonio cukup banyak memasukkan iklan dalam acaraku itu."

"Oo, pantas," sahut Pramuda lagi. Ia menambahkan kata sambil melirik Nanu. "Pantas si Niko tambah gemuk. Rupanya ia panen duit dalam acaranya setiap malam Jumat itu."

Nanu dan Niko tertawa. Nanu mengomentari dengan canda pula. "Saya dengar si Niko malah mau kawin, sekaligus empat istri!"

"Gila!" sentak Kumala dengan geli.

"Buat ngabisin duit iklannya itu!" tambah Nanu membuat suasana mereka semakin ceria.

Tawa mereka sesekali meledak tanpa mempedulikan keadaan mereka sedang makan. Hanya si Dewi Ular yang tawanya tidak sampai terbahak-bahak. Sesekali saja terdengar seperti orang menggumam dengan senyum yang amat menawan, yang menjadi sasaran mata nakal para undangan lainnya. Secara diam-diam Kumala sering mencuri pandang ke arah Nanu. Kadang pemuda itu memergoki tatapan mata itu, membuatnya grogi. Tapi kadang tak tahu kalau sedang diperhatikan gadis cantik bermata jeli.

Dalam satu kesempatan, Pramuda yang rupanya mengetahui gerak-gerik pandangan mata Kumala itu sempat berbisik kepada saudara angkatnya. "Kamu naksir dia, ya?"

"Naksir siapa maksudmu?"

"Nanu...?"

Kumala hanya mencibir tipis. Saat itu Nanu dan Niko sedang memperhatikan sepasang mempelai yang sedang foto bersama dengan para undangan lainnya.

"Goblok amat kamu. Cowok kayak gitu ditaksir?!"

"Elu yang goblok!" balas Kumala berbisik. "Siapa bilang gue naksir Nanu?"

"Arah pandangan matamu sejak tadi ke sana!"

"Karena aku melihat ada keganjilan pada dirinya."

"Keganjilan apa?"

"Ada yang bergerak-gerak di balik kulit wajahnya," bisik Kumala semakin pelan.

Mereka tak melanjutkan kasak-kusuk itu, karena Nanu dan Niko sudah tidak memandang ke arah mempelai lagi. Tapi secara diam-diam Pramuda memperhatikan wajah Nanu yang polos tanpa kumis selembar pun.

"Eh, Dewi... bagaimana dengan temanku itu, si Fandy?" tanya Niko.

"Sudah kusarankan agar dia jangan keluar malam ini."

"Kenapa kau sarankan begitu?"

"Ada yang nggak beres pada dirinya."

"Maksudmu...?!" Niko berkerut dahi dan menyembunyikan kecemasannya.

Sebelum Kumala menjawab, tiba-tiba Nanu tersentak dengan menarik mundur kepalanya. Ia terpekik pelan.

"Auh...!" sambil memegangi pipinya yang kiri.

"Hahh...?!" Niko terperanjat dengan mata terbelalak, ia melihat dengan jelas ada belatung yang keluar dari pori-pori pipi Nanu. Binatang seperti belatung berwarna, hitam itu meloncat dari wajah dan jatuh di atas piring kotor.

"Apaan itu, Nu?!" Niko kelihatan semakin cemas. Nanu menggeleng dengan kebingungan.

"Tahu tuh...! Tadi waktu kita ada di pojokan sana juga begitu. Sepertinya ada ulat yang keluar dari kulit wajahku dan... dan. Auuuh!"

Pluk...!

Ada satu lagi binatang seperti belatung yang loncat dari kulit kening Nanu.Pramuda memandang dengan terbengong melompong. Dewi Ular menatap Nanu penuh curiga. Untung saat itu acara makan mereka sudah selesai. Kalau belum, tentu saja akan membuat perut menjadi mual, terutama perut Pramuda yang tak bisa melihat benda menjijikkan pada
saat sedang makan.

Dan ternyata benda yang meloncat sendiri dari pori-pori kening dan pipi Nanu itu masih dalam keadaan hidup walaupun berada di atas permukaan piring kotor.

****

35. Musibah Sebuah Kapal✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang