24. Perpisahan yang Indah

80 9 0
                                    


Sore ini Thisya sudah kembali diperbolehkan untuk kembali ke kamar inapnya setelah mengalami perubahan cukup baik dalam dua malam di ruangan ICU.

Alat-alat yang menempel di seluruh tubuhnya juga sudah terlepas menyisakan selang pernafasan di lubang hidungnya dan juga infusan ditangan kirinya.

Ketika diruang ICU juga ia terlalu banyak sendiri karna kunjungan orangtuanya yang dibatasi, dan cukup bersyukur ketika dokter sudah memperbolehkannya kembali ke kamar inapnya.

Thisya melihat ibunya yang sedang mengisi air kedalam gelasnya sedangkan ayahnya tidak tahu kemana, sebelumnya ia juga sudah meminum obat dan jadwalnya untuk kembali tidur.

"Nah sayang, mommy pulang dulu kerumah sebentar dan kamu tidur aja ya"

Thisya mengangguk pelan, setengah tubuhnya sudah terasa mati rasa efek dari suntikan dan obat-obatan yang mungkin sudah masuk kedalam tubuhnya, dan jangan lupakan juga wajah super pucatnya.

"Oh iya, daddy lagi ngurus administrasi disini, kemarin juga dia udah urus penerbangan kita. Tiga hari lagi kemungkinan kita pulang kesana.."

Thisya kembali mengangguk, kali ini dengan senyumannya berusaha menguatkan ibunya yang terlihat sangat rapuh namun berusaha dikuat-kuatkan.

Ibunya mencium dulu keningnya sebentar sebelum Thisya melihat pintu itu tertutup, menyisakan dirinya seorang disini.

Ia memejamkan matanya namun kembali terbuka saat mendengar kenop pintu itu terbuka dan memperlihatkan seseorang yang sangat amat ia kenali.

Ebra.

Tapi kali ini Ebra tampak berbeda sekali, memakai kemeja hitam yang digulungkan sampai siku, celana panjang berwarna mocca serta tatanan rambut yang lebih rapi sampai memperlihatkan dahinya. Sangat rapi sekali.

Thisya tersenyum dan Ebra juga membalasnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sampai Thisya menyadari dibelakang tubuh Ebra ada sesuatu yang cukup ia ketahui,

Biola.

Ebra masih belum berbicara apapun sampai ia berdiri didepan ranjangnya, membuat ia lebih leluasa melihat gerak-gerik Ebra didepan sana.

Thisya cukup terkejut ketika Ebra sedikit membungkuk kearahnya bak vionalis profesional. Ia juga masih diam tidak mengeluarkan suara apapun sampai tak lama alunan biola itu mulai terdengar.

Tubuhnya sedikit menegang ketika mendengar suara itu lagi secara langsung setelah sekian lama, laki-laki didepannya benar-benar memainkannya dengan sangat lihai.

Ebra memainkannya dengan mata tertutup, meresapi apa yang ia mainkan sedangkan Thisya, ia tidak pernah bisa melepas pandangannya pada laki-laki didepannya, matanya penuh sekali dengan tatapan kagumnya.

Kenapa laki-laki itu sangat sempurna?

Apalagi dengan penampilan Ebra yang menurutnya sangat-sangat tampan dari biasanya, hari biasa juga selalu tampan tapi sekarang ketampanannya menjadi 2 kali lipat lebih tampan.

Matanya berkaca-kaca sampai setetes airmata itu jatuh, ia sangat bahagia sekali mendengar biola lagi setelah sekian lama apalagi yang memainkannya itu adalah orang favoritnya.

Sampai akhirnya alunan musik klasik dari biola itu terhenti, Thisya melihat mata Ebra yang mulai terbuka perlahan sampai mata mereka beradu.

"Jadi apa kamu lagi kagum sama vionalis amatir ini?" Tanya Ebra pertama kali dan Thisya terkekeh pelan.

Ebra berjalan mendekat kearah Thisya dan memberikan biola yang ada ditangannya pada Thisya.

"Ini adalah hadiah dari aku, buat kamu"

Euthanasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang