1st Piece - 2

182 25 11
                                    

"How are you?"

Sepasang kaki jenjang berbalut setelan kerja menghampiri Harrison. Nyaris tidak menyadari keberadaanku. Aroma parfum mewah menguar begitu dia berada dekat. Senyum wanita itu cerah.

"Fine." Harrison berdiri menghadap Brenda. Senyum Harrison tidak secerah wanita itu. Bahkan, cenderung kaku.

"Aku sedang makan siang di sana," Brenda menunjuk bistro di seberang jalan, "lalu tidak sengaja melihatmu di sini."

"Suamimu tahu kau bicara denganku?" Harrison bertanya terang-terangan. Mengundang rona di wajah wanita itu. Juga atmosfer canggung yang menyusul.

"Ya. Dia juga sedang makan bersamaku. Sebenarnya, dia sedang membayar dan akan menyusul kemari... "

"That won't be necessary." Harrison meraih tanganku, tanpa kata menyuruh ikut berdiri. "Me and my fiancé need to be somewhere else. Dan, kami agak terburu-buru."

"Oh." Brenda tampak agak terkejut melihatku. Akhirnya sadar aku ada di sebelah Harrison sejak tadi. "You must be Claire Haynes. Aku mendengar tentang pertunangan kalian. Congratulation." Senyum tulus mewarnai bibir Brenda. Tangannya terulur. Namun sebelum aku sempat meraihnya, tarikan Harrison membawaku pergi. Tanpa sepatah kata pun sebagai salam perpisahan pada Brenda.

***

"Kalian pernah bersama."

Harrison tidak perlu berpikir untuk tahu siapa yang kumaksud. Pandangannya tak lepas dari jalan raya di depan kami. Dia sama sekali tidak menatapku. Maupun bicara sejak kami meninggalkan Brenda.

"Isn't it obvious?" Dia bertanya balik.

"Yeah. Crystal clear. It didn't end well. Was it?"

"Again. Isn't. It. Obvious?"

Dia tidak senang. Namun, tidak mencegahku untuk kembali bertanya. "Kau masih mencintainya?"

"I was. Satisfied?"

Itu adalah tanda bahwa pertanyaanku sudah final. Jadi, aku tidak lagi bertanya. Tapi, tidak ada yang bisa melarangku bicara. "Actually, I'm fine."

"Fine with what?" Heran, dia balik bertanya. Masih tanpa mengalihkan tatapan dari jalan raya.

"Kalau kau masih mencintainya."

Untuk pertama kali, Harrison melirikku. "Boleh aku tahu alasannya? Kenapa kau baik-baik saja meski aku masih mencintai wanita lain? Padahal kita akan segera menikah."

Seketika, rasa tidak nyaman menggelayutiku. "Well... Pernikahan kita... diatur. Bukan kemauan kita sendiri. Hubungan kita platonis. Jadi, aku tidak punya hak merasa keberatan terhadap apa pun yang terjadi dalam hidupmu sebelum ini. Terhadap hubungan apa pun yang pernah kau jalin. Dengan siapa pun. Jadi, kalau kau masih punya perasaan pada... Brenda, itu wajar. Kurasa." Kenapa aku terdengar gugup? "Meski, dia sudah menikah. Again, aku tidak sedang menghakimi... "

"Me and Brenda never meant to be together." Harrison memotong ucapanku. Kembali tidak memandangku. "She is a past. You are my future."

"Masa depan yang sudah diatur untukmu," ucapku lirih. Namun, terdengar bagai diteriakkan di dalam mobil yang sunyi.

Kali ini, Harrison tidak memberi tanggapan. Kami berkendara dalam diam sepanjang perjalanan pulang.

Piece of My MindWhere stories live. Discover now